Jakarta Gempa itu seperti sakit jantung. Jika seseorang pernah diserang sakit jantung, maka suatu saat lagi akan kumat, meski tidak tahu persis kapan terjadinya. Karena itu penelitian akan gempa bumi perlu dilakukan.
"Ketika kita mulai (penelitian), kita tidak tahu. I think it's discovery. Implikasi program ini kita tahu itu seperti orang sakit jantung, pasti kan kembali (kumat). Ketika suatu daerah gempa pasti akan gempa kembali. Implikasinya untuk tata kota," ujar peneliti LIPI, Prof Hery Harjono.
Hal itu disampaikan dia dalam pemaparan hasil-hasil riset kegempaan dan kegunungapian, kerja sama riset Indonesia - Jepang di kantor COREMAP LIPI, Jl Raden Saleh No 43 Jakarta, Selasa (1/5/2012).
Dia menjelaskan, sejak 2009 Indonesia dan Jepang menjalin kerja sama dalam riset gempa dan kegunungapian. Latar belakang kerja sama tersebut adalah karena kedua negara memiliki kesamaan di bidang geologi.
"Peneliti Indonesia dan Jepang bekerja sama melakukan penelitian tentang bahaya yang disebabkan gempa bumi, tsunami, gunung api," imbuh Hery.
Kerja sama ini bertajuk multidiciplinary hazard reduction from earthquake and volcano di Indonesia. LIPI, Kemenristek, Japan Science and technology dan Japan International Corporation Agency.
Dia menjelaskan kerja sama ini untuk mengetahui bagaimana alam bekerja. Karena itu kerja sama penelitian ini dibagi dalam beberapa grup. Grup pertama meneliti bagaimana gempa bumi dan tsunami terjadi. Grup kedua, meneliti gunung api.
Grup ketiga terkait bagaimana enginering menanggulangi bencana. Grup keempat mengkaji soal sosial, yakni untuk mengetahui keadaan sosial sosial dan kultur masyarakat dalam menghadapi bencana.
Grup kelima, konsulatsi, edukasi, dan home watching alias memperhatikan tata kota. "Contoh pintu di Jepang itu dibukanya ke luar bukan ke dalam untuk mempermudah penyelamatan saat terjadi bencana," lanjut Hery.
Grup 6 menghimpun hasil riset ini untuk memuat dasar-dasar dalam pembuatan kebijakan publik. "Grup ini baru bekerja setelah (penelitian) berakhir," tambahnya.
Sumber:
"Ketika kita mulai (penelitian), kita tidak tahu. I think it's discovery. Implikasi program ini kita tahu itu seperti orang sakit jantung, pasti kan kembali (kumat). Ketika suatu daerah gempa pasti akan gempa kembali. Implikasinya untuk tata kota," ujar peneliti LIPI, Prof Hery Harjono.
Hal itu disampaikan dia dalam pemaparan hasil-hasil riset kegempaan dan kegunungapian, kerja sama riset Indonesia - Jepang di kantor COREMAP LIPI, Jl Raden Saleh No 43 Jakarta, Selasa (1/5/2012).
Dia menjelaskan, sejak 2009 Indonesia dan Jepang menjalin kerja sama dalam riset gempa dan kegunungapian. Latar belakang kerja sama tersebut adalah karena kedua negara memiliki kesamaan di bidang geologi.
"Peneliti Indonesia dan Jepang bekerja sama melakukan penelitian tentang bahaya yang disebabkan gempa bumi, tsunami, gunung api," imbuh Hery.
Kerja sama ini bertajuk multidiciplinary hazard reduction from earthquake and volcano di Indonesia. LIPI, Kemenristek, Japan Science and technology dan Japan International Corporation Agency.
Dia menjelaskan kerja sama ini untuk mengetahui bagaimana alam bekerja. Karena itu kerja sama penelitian ini dibagi dalam beberapa grup. Grup pertama meneliti bagaimana gempa bumi dan tsunami terjadi. Grup kedua, meneliti gunung api.
Grup ketiga terkait bagaimana enginering menanggulangi bencana. Grup keempat mengkaji soal sosial, yakni untuk mengetahui keadaan sosial sosial dan kultur masyarakat dalam menghadapi bencana.
Grup kelima, konsulatsi, edukasi, dan home watching alias memperhatikan tata kota. "Contoh pintu di Jepang itu dibukanya ke luar bukan ke dalam untuk mempermudah penyelamatan saat terjadi bencana," lanjut Hery.
Grup 6 menghimpun hasil riset ini untuk memuat dasar-dasar dalam pembuatan kebijakan publik. "Grup ini baru bekerja setelah (penelitian) berakhir," tambahnya.
Sumber:
blackmild 01 May, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar