SALAH satu produk reformasi yang patut dipuji ialah keberanian pemerintah dan DPR mengembalikan TNI ke barak. Namun, di era reformasi pula, tentara kembali diberi peluang keluar markas untuk berhadapan dengan rakyat.
Peluang itu terbuka ketika DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial (RUU PKS) menjadi undang-undang, dalam rapat paripurna, Rabu (11/4). Lewat lobi intensif, seluruh fraksi sepakat menetapkan UU PKS tanpa memedulikan gelombang penolakan oleh publik.
Benar bahwa ada perubahan substansi dalam UU PKS. Pasal 24 dan 33 soal eksistensi forum koordinasi pimpinan daerah yang bisa mempertimbangkan permintaan kepala daerah untuk menggunakan kekuatan TNI akhirnya dihapus.
Pasal itulah yang memicu silang pendapat sehingga rapat paripurna sepekan sebelumnya ditunda.
Akan tetapi, bukan berarti substansi yang disetujui seluruh fraksi lantas melegakan. Dalam UU PKS yang disahkan, jalan bagi serdadu untuk terjun kala terjadi konflik sosial masih terbentang. TNI dapat dikerahkan setelah gubernur, bupati, atau wali kota meminta kepada presiden, kemudian presiden meminta persetujuan DPR.
Pelibatan tentara dalam urusan sipil tak hanya tidak tepat, tetapi juga berbahaya. Tidak tepat sebab urusan sipil bukan domain TNI. Berbahaya lantaran tentara dididik dan dirancang untuk berperang melawan musuh, bukan untuk menghadapi rakyat sendiri.
Pelibatan tentara dalam penanganan konflik sosial pun sangat rentan penyimpangan dan keberpihakan. Ambil contoh, untuk membela kepentingan siapa saat TNI dilibatkan mengatasi konflik akibat sengkarut pemilu kada? Akan berdiri di pihak mana jika tentara ikut menangani sengketa agraria seperti kasus Mesuji dan Bima, atau kala saudagar dan buruh berselisih?
Ketika pendekatan keamanan terbukti gagal mengurai dan menuntaskan konflik sosial di negeri ini, UU PKS justru menempatkan pendekatan itu sebagai yang utama. Pendekatan keamanan, apalagi sampai harus melibatkan tentara, jelas keputusan salah kaprah.
Konflik sosial yang seperti tiada henti terjadi di Republik ini memang mengganggu laju pembangunan. Namun, bukan berarti pemerintah dan parlemen lantas begitu saja menjalin persekutuan ala Orde Baru untuk menarik tentara kembali ke ranah sipil.
UU PKS jelas akan merongrong supremasi sipil, tapi mengukuhkan dominasi negara dan aparatusnya, termasuk TNI. Karena itu, kita patut mendukung konsolidasi sejumlah kalangan untuk mengajukan uji materi UU PKS ke Mahkamah Konstitusi.
Bisa jadi tangan tentara sudah gatal karena lama tak mengokang senjata.
Kaki tentara mungkin sudah kaku lantaran lama tak memburu. Namun, itu bukanlah dalih yang tepat untuk melibatkan mereka menangani konflik antaranak bangsa. Biarkan TNI fokus pada tugas mulia mereka, yakni menjaga Republik ini dari ancaman musuh.
(author unknown) 16 Apr, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar