Harga Sebuah Nama
Memang pernah dikatakan apa arti sebuah nama,
Bunga mawar meskipun nanti diganti namanya
Akan tetap harum semerbak mewangi juga!
Tetapi bagi sebagian orang, nama bukan sekedar nama,
Nama adalah sebuah kehormatan, sebuah karunia
Yang pantas dijaga dan karenanya pantang dihina!
Muka Hamid merah padam dan menakutkan. Belum pernah sebelumnya aku melihat dia seperti itu. Hamid selama ini kukenal sebagai orang yang sabar, tidak pernah marah, meskipun harus kuakui teman-teman kadang-kadang memperlakukan Hamid keterlaluan.
"Aku harus berbuat sesuatu," kata Hamid, entah ditujukan pada diriku, entah ditujukan pada dirinya sendiri. Bibirnya kulihat bergetar ketika mengucapkan itu. Yah ... anak ini tampaknya sedang marah beneran, desisku dalam hati. "Mereka boleh menggodaku dengan segala macam cara, tetapi untuk yang satu ini ... tidak! Aku tidak terima! Dan aku bersumpah, akan kulakukan sesuatu untuk ini!"
Aku mengerutkan kening. Nada mengancam jelas-jelas terdengar dalam kata-katanya. Padahal seingatku, sekali pun belum pernah Hamid mengancam seseorang. Apalagi mengancam, bahkan marah pun aku belum pernah melihatnya. Pasti persoalannya serius kali ini.
"Kau mau membantuku?" tanyanya tiba-tiba padaku.
Aku kaget waktu itu, tetapi kemudian aku mengangguk.
"Tentu saja, kawan!" kataku mencoba berkata dengan senyuman. "Tetapi engkau harus mengendalikan amarahmu dulu. Sulit memecahkan masalah kalau disertai dengan rasa marah!"
"Huh, bersabar?" dengus Hamid. "Aku baru bisa bersabar kalau mulut si kurang ajar itu sudah kurobek. Sekarang ambil laptopmu dan bantu aku menulis surat!"
Keningku kembali berkerut. Terus terang saja aku tidak menduga kalau bantuan yang diminta Hamid adalah menulis surat. Kukira bantuan yang dia minta kalau tidak masalah berkelahi dengan orang, tentunya bantuan untuk ikut serta menghajar seseorang. Tetapi menulis surat? Bah, apa hubungan kemarahannya dengan menulis surat? Apa dia ingin menghajar seseorang dengan surat? Aku tersenyum geli dalam hati membayangkan kemungkinan itu. Menghajar seseorang lewat surat, menggelikan, bukan?
"Kenapa kau tersenyum-senyum? Ada yang lucu?"
Aku gelagapan menerima pertanyaan sinis semacam itu. Kontan senyumku hilang tak berbekas.
"Kau mau membantuku tidak?" tanya Hamid lagi.
"Tentu saja aku mau!" jawabku bersungguh-sungguh. Rupanya persoalan amat serius. Aku tidak boleh lagi memandang remeh persoalan si Hamid ini. Dia betul-betul serius dan bersungguh-sungguh, sampai-sampai dia berani berkata keras padaku. "Tetapi bagaimana pun juga engkau harus menceritakan semuanya kepadaku!"
"Itu bisa kulakukan nanti!" kata Hamid. "Sekarang yang penting aku harus menulis surat dulu. Surat wasiat di atas materai. Aku ingin memberi kuasa kepada dirimu, untuk melakukan apa-apa yang tidak bisa kuselesaikan, karena siapa tahu aku gagal dalam usahaku ini!"
Aku menghela nafas panjang sambil mengetuk-ngetukkan jari ke atas meja, suatu kebiasaan kalau sedang berpikir. Sekarang bukan cuma heran dengan tingkah si Hamid ini, tetapi aku juga bingung. Hamid datang marah-marah, menolak menceritakan kejadian yang menimpanya, dan sekarang memintaku menulis surat kuasa sekaligus surat wasiatnya. Apa-apaan ini?
"Tulis di atas surat kuasa itu bahwa aku menguasakan segala urusanku yang belum selesai pada dirimu. Semua piutang yang kumiliki, kuwariskan pada dirimu. Utang aku tidak punya. Dan sebagai imbangan untuk semua piutang yang kumiliki, engkau wajib menyelesaikan semua tugas dan kewajibanku yang belum selesai dikerjakan."
Hamid berhenti berbicara. Aku tetap duduk, belum beranjak mengambil laptop. Aku masih bingung dan tidak mengerti.
"Bagaimana?" tanya Hamid. "Sudah jelas, bukan? Dan engkau mau menerima tugas ini?"
"Akan kuterima semua permintaan bantuanmu!" kataku pelan. "Tetapi persoalannya aku masih belum jelas. Engkau mengatakannya sepotong-sepotong. Apa engkau berharap aku bisa mengerti semua persoalanmu sementara engkau enggan menceritakannya padaku?"
Hamid menatapku sambil menggigit bibirnya. Dia tampak berpikir mempertimbangkan kata-kata.
"Ceritakan semuanya padaku, agar aku bisa membantu sepenuhnya!" sambungku melihat kesempatan itu. Hamid tampaknya mulai bisa berpikir dan mempertimbangkan kata-kataku. "Bagaimana aku bisa menulis surat kuasa dan surat wasiat dengan baik kalau latar belakang penulisan itu aku tidak tahu?"
"Jadi surat kuasa juga memerlukan keterangan semacam itu?" tanya Hamid mulai memperlihatkan sifat aslinya lagi, sifat yang polos dan agak ketolol-tololan.
"Tentu saja!" jawabku cepat dan mantap. "Kau pikir mudah menulis surat kuasa. Paling tidak, aspek yuridisnya harus jelas, agar surat kuasa itu bisa diakui secara sah!"
Untuk keterangan yang ini terus terang saja aku sedikit membual dan mengada-ada. Tetapi kalau tidak begini, bagaimana Hamid bisa kuyakinkan agar mau menceritakan semuanya? Mengada-ada sedikit kurasa sah asal dilandasi oleh kepentingan yang lebih besar. Paling tidak, begitulah menurut keyakinanku ketika itu.
Hamid menatapku. Tampaknya dia masih ragu-ragu dan bimbang. Tetapi aku balas menatapnya dengan pandangan meyakinkan. Aku tahu pasti bagaimana sifat Hamid. Dengan bersikap bersungguh-sungguh, aku dengan mudah bisa mempengaruhinya. Dan benar, aku akhirnya berhasil mempengaruhi dia. Ini kulihat dari sinar matanya.
"Kau tidak akan berbalik membatalkan janji bantuanmu kalau kuceritakan persoalan ini?" tanya Hamid. Mungkin untuk lebih meyakinkan keputusannya untuk bercerita.
"Jangan khawatir!" jawabku mantap.
"Meskipun lawanku adalah temanmu juga?"
Aku mengangguk. Sementara dalam hati aku tidak terkejut karena hal ini sudah sejak semula kuduga. Dengan siapa lagi Hamid berselisih kalau bukan dengan teman-temannya sendiri, yang juga berarti teman-temanku?
"Kau adalah temanku yang lebih dari yang lain. Mengapa aku harus berbalik tidak membelamu, sementara aku telah berjanji padamu? Apalagi, engkaulah temanku yang paling akrab!"
Lagi-lagi aku sedikit membual.
"Ini masalah nama!" kata Hamid akhirnya yang mulai membuka kartunya. "Aku tidak perduli kalau teman-temanmu menyerangku dengan segala macam kelemahanku. Tetapi kalau mereka berani menyerangku dengan merendahkan namaku, nama pemberian orang tuaku, ini yang aku tidak bisa terima. Mereka boleh menghina diriku, tetapi tidak namaku. Nama pemberian orang tua yang kusandang sejak kecil adalah suci bagiku. Tidak seorang pun kuijinkan menghinanya, tidak juga temanmu!"
Hamid mengucapkan kalimat terakhirnya sambil menuding ke arahku. Aku terkesiap karenanya. Beginilah memang seorang teman. Kadang-kadang kita harus bertanggung-jawab terhadap semua kesalahan yang dilakukan teman yang lain meskipun kita sama sekali tidak tahu menahu asal muasal kesalahan itu. Seperti Hamid sekarang ini, bukankah dia seakan-akan menuntut tanggung jawab dariku, karena temanku berani menghina nama pemberian orang tuanya, yang dianggap suci itu?
Aku belum tahu temanku yang mana, juga belum tahu bagaimana bentuk penghinaan itu. Tetapi tentunya penghinaan itu hebat, kalau tidak, bagaimana Hamid si sabar ini bisa naik pitam?
"Aku pertaruhkan nyawaku untuk menebus penghinaan ini," Hamid melanjutkan dengan bersungguh-sungguh.
Aku diam menunggu dia melontarkan semua yang ada dalam hatinya. Kupikir tidak baik menyela pada keadaan suhu tinggi seperti ini.
"Kau ingin tahu bagaimana temanmu itu menghinaku?" tanya Hamid.
Aku menatapnya dengan pandangan tanpa ekspresi, tetapi akhirnya aku mengangguk pelan.
"Tentu saja aku ingin tahu!" kataku lirih, mencoba mendinginkan suasana.
"Kau tahu nama lengkapku, bukan?" tanya Hamid lagi.
Aku mengangguk. Nama lengkapnya kupikir bukan nama yang jelek apalagi sampai menimbulkan peluang untuk sebuah penghinaan. Sekarang aku semakin heran. Bagaimana mungkin nama Hamid Kartakusuma bisa menimbulkan peluang untuk sebuah olok-olok? Kukira sulit, bagi anak yang paling pandai sekali pun mencari kata olok-olok untuk nama sebagus itu.
"Nah, nama lengkapku itu yang mereka hina habis-habisan!" Hamid melanjutkan, memutuskan jalan pikiranku. "Aku benar-benar marah dan tidak bisa menerima hal ini. Aku ...!"
Hamid tidak melanjutkan kata-katanya, sementara dadanya bergelombang naik turun, mungkin dia teringat kembali akan saat-saat penghinaan itu terjadi, sehingga marahnya meluap lagi.
"Bagaimana mungkin namamu bisa mereka gunakan sebagai olok-olok?" tanyaku akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya.
"Apa? Kau tanya bagaimana mungkin? Ah, bagaimana engkau ini! Nyatanya mereka telah menghina nama itu habis-habisan. Mereka tidak menghargai nama pemberian orang tuaku itu. Padahal bagiku, harga sebuah nama, jauh lebih tinggi dari harga sebuah rumah. Nama adalah kehormatan. Dan kehormatan pantang untuk direndahkan. Manusia yang tidak bisa membela namanya, berarti tidak bisa membela kehormatannya. Orang seperti itu tidak pantas menyebut dirinya manusia!"
Ya, ampun, belajar dari mana si Hamid ini kata-kata seperti itu, gerutuku dalam hati. Dari buku barangkali. Tetapi belajar dari mana tidaklah penting. Yang penting Hamid mengucapkan itu semua dengan suara bersungguh-sungguh.
"Kehormatan memang harus dipertahankan dan dibela!" kataku setuju dengan pendapat Hamid. "Terutama bagi seorang laki-laki. Kehormatan pantas dibela dengan apa saja, bahkan juga dengan nyawa. Aku setuju dengan pendapatmu ini!"
"Bagus!" seru Hamid gembira. "Engkau memang teman sejati!"
"Tetapi satu hal jangan engkau lupakan, kawan!" lanjutku.
Hamid kulihat mengerutkan keningnya.
"Apa itu?" tanyanya kurang senang, mungkin karena kata-kataku sedikit mengganggu kegembiraannya karena mendapat dukungan dariku.
"Kehormatan dan nama tidaklah sama. Kehormatan adalah kehormatan sedangkan nama adalah nama. Apa artinya sebuah nama, begitu seorang pujangga besar pernah menanyakannya!"
Hamid cemberut. Jelas terlihat dia tidak puas dengan kata-kataku.
"Kau tidak setuju dengan kata-kataku?" aku mendahului bertanya cepat-cepat.
Hamid mengangguk.
"Ya, aku tidak setuju dengan pendapatmu. Nama bagiku adalah kehormatan."
Aku tersenyum.
"Tentu saja aku tidak bisa memaksakan sebuah pendapat padamu," kataku. "Kalau engkau beranggapan bahwa nama adalah sebuah kehormatan, itu terserah padamu. Meskipun bagiku, nama adalah nama, dan kehormatan adalah kehormatan!"
"Aku tetap beranggapan bahwa nama adalah sebuah kehormatan, tidak perduli apa pendapatmu!" kata Hamid mantap. "Menghina sebuah nama adalah sama dengan menghina sebuah kehormatan. Dan aku bertekad menebus penghinaan ini, apapun yang harus kukorbankan."
Aku mengangkat pundak. Tidak kuduga kalau Hamid bisa kukuh juga dengan pendapatnya.
"Terserah padamu kalau begitu!" kataku akhirnya.
"Bagus!" lagi-lagi Hamid berseru bagus. Entah sejak kapan kebiasaan itu muncul dari dirinya. "Memang semuanya terserah padaku, karena memang namaku yang terhina, kehormatanku yang terluka. Ayo kau tulis sekarang surat kuasa itu!"
"Kau belum menceritakan semuanya?" tanyaku dan mencoba untuk tersenyum.
"Apanya yang belum kuceritakan?" Hamid balas bertanya. "Bukankah semuanya ... eh, engkau maksudkan bagaimana temanmu itu menghinaku? Begitu?"
Aku mengangguk.
"Tidak!" kata Hamid dengan suara keras. "Tidak akan kukatakan bagaimana temanmu itu menghina namaku. Aku tidak mau mendengar ulangan kata-kata hinaan itu meskipun berasal dari mulutku sendiri. Pokoknya engkau terima saja bahwa temanmu telah menghina namaku."
Kembali aku mengetuk-ngetukkan jari di atas meja. Aku berpikir bagaimana bisa kusadarkan si keras kepala ini? Tiba-tiba sebuah ide melintas di benakku, Ide yang pernah muncul puluhan abad yang lalu dari seorang pujangga besar. Ya, mengapa tidak kugunakan hal ini, untuk melunakkan kekerasan hati si Hamid.
"Eh, kau tahu tentang bunga mawar, tidak?" tanyaku tiba-tiba. Hamid melengak. Jelas dia terkejut mendapat pertanyaan semacam itu dariku.
"Bunga mawar?" gumamnya lirih.
"Ya, bunga mawar!" tegasku keras.
"Apa hubungannya bunga mawar dengan ...!"
"Kau jawab saja pertanyaanku," potongku. "Simpan dulu pertanyaan ataupun komentar yang ada di kepalamu. Kenal tidak dengan bunga mawar?"
"Tentu saja aku kenal!"
"Bagaimana bau bunga itu? Harum, bukan?"
Hamid kulihat mengangguk.
"Bagus engkau tahu ini! Bagaimana seandainya nama bunga mawar kuganti dengan TAHI KUCING? Apakah harumnya akan berubah? Apakah baunya akan menjadi busuk?"
Hamid tidak menjawab. Matanya menatap ke arahku tajam-tajam. Aku tidak tahu apa yang berputar di kepalanya, tetapi aku bisa menerkanya.
"Kau lihat ini. Pujangga dan filsuf besar, Shakespeare, bukan tanpa maksud ketika mengatakan kata-katanya yang sampai sekarang tersohor ini. Apa artinya sebuah nama, tanyanya waktu itu. Bunga mawar dengan nama tahi-kucing pun akan tetap harum baunya. Seribu atau sejuta orang boleh menghina nama Hamid Kartakusuma, tetapi kehormatanmu tidak akan bergeming. Kau tetap Hamid Kartakusuma. Kau tidak akan berubah menjadi mahluk lain karena salah seorang temanmu menghina namamu. Meskipun kau dipanggil dengan sebutan kerbau, umpamanya, engkau tidak akan berubah menjadi kerbau. Sebaliknya seekor kerbau dipanggil dengan namamu, kerbau itu tidak akan berubah menjadi Hamid Kartakusuma."
Kulihat Hamid ternganga waktu itu. Kupikir kata-kataku termakan olehnya.
"Jadi untuk apa kau permasalahkan hal sepele semacam itu? Kehormatanmu tidak pernah ternoda jika cuma namamu yang dihina. Kehormatanmu baru ternoda kalau engkau bertindak yang bukan-bukan, seperti umpamanya tindakan yang kau lakukan sekarang ini. Jadi .…"
Kulihat Hamid masih tetap dengan sikapnya yang ternganga heran. Dia sepertinya tidak lagi mendengarkan kata-kataku yang terakhir.
"Hai ...!" tegurku.
"Bagaimana engkau bisa tahu?" tanyanya lirih padaku.
Aku mengerutkan kening. Kembali aku berhasil dibuat heran oleh pertanyaannya.
"Tahu apa?" tanyaku.
"Tahu kalau mereka menghina dan menyamakan namaku dengan kerbau ...?"
Sekarang ganti aku yang ternganga. Tentu saja aku tidak tahu itu. Aku cuma mengambil kerbau sebagai contoh. Kutatap Hamid yang tetap dengan sikapnya, diam dan tergugu heran. Berhasilkah usahaku memberi kesadaran pada Hamid tentang makna dan harga sebuah nama? Tampaknya aku berhasil, meskipun keberhasilan itu ditunjang oleh keberhasilan mengambil contoh yang secara kebetulan cocok.
Sedangkan untuk temanku, yang sampai saat ini belum kuketahui namanya, yang telah menyamakan nama Hamid Kartakusuma dengan kerbau, diam-diam aku mengumpat. Sialan, hampir saja dia menebus keusilan itu dengan sesuatu yang lain, yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh dia sebelumnya. Untung harga untuk nama itu telah kubayar, kubayar dengan sebuah kebetulan! Sebuah peringatan bagi siapa saja, agar tidak dengan mudah menghina nama seseorang.
Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Poznan, Poland (editing)
Memang pernah dikatakan apa arti sebuah nama,
Bunga mawar meskipun nanti diganti namanya
Akan tetap harum semerbak mewangi juga!
Tetapi bagi sebagian orang, nama bukan sekedar nama,
Nama adalah sebuah kehormatan, sebuah karunia
Yang pantas dijaga dan karenanya pantang dihina!
Muka Hamid merah padam dan menakutkan. Belum pernah sebelumnya aku melihat dia seperti itu. Hamid selama ini kukenal sebagai orang yang sabar, tidak pernah marah, meskipun harus kuakui teman-teman kadang-kadang memperlakukan Hamid keterlaluan.
"Aku harus berbuat sesuatu," kata Hamid, entah ditujukan pada diriku, entah ditujukan pada dirinya sendiri. Bibirnya kulihat bergetar ketika mengucapkan itu. Yah ... anak ini tampaknya sedang marah beneran, desisku dalam hati. "Mereka boleh menggodaku dengan segala macam cara, tetapi untuk yang satu ini ... tidak! Aku tidak terima! Dan aku bersumpah, akan kulakukan sesuatu untuk ini!"
Aku mengerutkan kening. Nada mengancam jelas-jelas terdengar dalam kata-katanya. Padahal seingatku, sekali pun belum pernah Hamid mengancam seseorang. Apalagi mengancam, bahkan marah pun aku belum pernah melihatnya. Pasti persoalannya serius kali ini.
"Kau mau membantuku?" tanyanya tiba-tiba padaku.
Aku kaget waktu itu, tetapi kemudian aku mengangguk.
"Tentu saja, kawan!" kataku mencoba berkata dengan senyuman. "Tetapi engkau harus mengendalikan amarahmu dulu. Sulit memecahkan masalah kalau disertai dengan rasa marah!"
"Huh, bersabar?" dengus Hamid. "Aku baru bisa bersabar kalau mulut si kurang ajar itu sudah kurobek. Sekarang ambil laptopmu dan bantu aku menulis surat!"
Keningku kembali berkerut. Terus terang saja aku tidak menduga kalau bantuan yang diminta Hamid adalah menulis surat. Kukira bantuan yang dia minta kalau tidak masalah berkelahi dengan orang, tentunya bantuan untuk ikut serta menghajar seseorang. Tetapi menulis surat? Bah, apa hubungan kemarahannya dengan menulis surat? Apa dia ingin menghajar seseorang dengan surat? Aku tersenyum geli dalam hati membayangkan kemungkinan itu. Menghajar seseorang lewat surat, menggelikan, bukan?
"Kenapa kau tersenyum-senyum? Ada yang lucu?"
Aku gelagapan menerima pertanyaan sinis semacam itu. Kontan senyumku hilang tak berbekas.
"Kau mau membantuku tidak?" tanya Hamid lagi.
"Tentu saja aku mau!" jawabku bersungguh-sungguh. Rupanya persoalan amat serius. Aku tidak boleh lagi memandang remeh persoalan si Hamid ini. Dia betul-betul serius dan bersungguh-sungguh, sampai-sampai dia berani berkata keras padaku. "Tetapi bagaimana pun juga engkau harus menceritakan semuanya kepadaku!"
"Itu bisa kulakukan nanti!" kata Hamid. "Sekarang yang penting aku harus menulis surat dulu. Surat wasiat di atas materai. Aku ingin memberi kuasa kepada dirimu, untuk melakukan apa-apa yang tidak bisa kuselesaikan, karena siapa tahu aku gagal dalam usahaku ini!"
Aku menghela nafas panjang sambil mengetuk-ngetukkan jari ke atas meja, suatu kebiasaan kalau sedang berpikir. Sekarang bukan cuma heran dengan tingkah si Hamid ini, tetapi aku juga bingung. Hamid datang marah-marah, menolak menceritakan kejadian yang menimpanya, dan sekarang memintaku menulis surat kuasa sekaligus surat wasiatnya. Apa-apaan ini?
"Tulis di atas surat kuasa itu bahwa aku menguasakan segala urusanku yang belum selesai pada dirimu. Semua piutang yang kumiliki, kuwariskan pada dirimu. Utang aku tidak punya. Dan sebagai imbangan untuk semua piutang yang kumiliki, engkau wajib menyelesaikan semua tugas dan kewajibanku yang belum selesai dikerjakan."
Hamid berhenti berbicara. Aku tetap duduk, belum beranjak mengambil laptop. Aku masih bingung dan tidak mengerti.
"Bagaimana?" tanya Hamid. "Sudah jelas, bukan? Dan engkau mau menerima tugas ini?"
"Akan kuterima semua permintaan bantuanmu!" kataku pelan. "Tetapi persoalannya aku masih belum jelas. Engkau mengatakannya sepotong-sepotong. Apa engkau berharap aku bisa mengerti semua persoalanmu sementara engkau enggan menceritakannya padaku?"
Hamid menatapku sambil menggigit bibirnya. Dia tampak berpikir mempertimbangkan kata-kata.
"Ceritakan semuanya padaku, agar aku bisa membantu sepenuhnya!" sambungku melihat kesempatan itu. Hamid tampaknya mulai bisa berpikir dan mempertimbangkan kata-kataku. "Bagaimana aku bisa menulis surat kuasa dan surat wasiat dengan baik kalau latar belakang penulisan itu aku tidak tahu?"
"Jadi surat kuasa juga memerlukan keterangan semacam itu?" tanya Hamid mulai memperlihatkan sifat aslinya lagi, sifat yang polos dan agak ketolol-tololan.
"Tentu saja!" jawabku cepat dan mantap. "Kau pikir mudah menulis surat kuasa. Paling tidak, aspek yuridisnya harus jelas, agar surat kuasa itu bisa diakui secara sah!"
Untuk keterangan yang ini terus terang saja aku sedikit membual dan mengada-ada. Tetapi kalau tidak begini, bagaimana Hamid bisa kuyakinkan agar mau menceritakan semuanya? Mengada-ada sedikit kurasa sah asal dilandasi oleh kepentingan yang lebih besar. Paling tidak, begitulah menurut keyakinanku ketika itu.
Hamid menatapku. Tampaknya dia masih ragu-ragu dan bimbang. Tetapi aku balas menatapnya dengan pandangan meyakinkan. Aku tahu pasti bagaimana sifat Hamid. Dengan bersikap bersungguh-sungguh, aku dengan mudah bisa mempengaruhinya. Dan benar, aku akhirnya berhasil mempengaruhi dia. Ini kulihat dari sinar matanya.
"Kau tidak akan berbalik membatalkan janji bantuanmu kalau kuceritakan persoalan ini?" tanya Hamid. Mungkin untuk lebih meyakinkan keputusannya untuk bercerita.
"Jangan khawatir!" jawabku mantap.
"Meskipun lawanku adalah temanmu juga?"
Aku mengangguk. Sementara dalam hati aku tidak terkejut karena hal ini sudah sejak semula kuduga. Dengan siapa lagi Hamid berselisih kalau bukan dengan teman-temannya sendiri, yang juga berarti teman-temanku?
"Kau adalah temanku yang lebih dari yang lain. Mengapa aku harus berbalik tidak membelamu, sementara aku telah berjanji padamu? Apalagi, engkaulah temanku yang paling akrab!"
Lagi-lagi aku sedikit membual.
"Ini masalah nama!" kata Hamid akhirnya yang mulai membuka kartunya. "Aku tidak perduli kalau teman-temanmu menyerangku dengan segala macam kelemahanku. Tetapi kalau mereka berani menyerangku dengan merendahkan namaku, nama pemberian orang tuaku, ini yang aku tidak bisa terima. Mereka boleh menghina diriku, tetapi tidak namaku. Nama pemberian orang tua yang kusandang sejak kecil adalah suci bagiku. Tidak seorang pun kuijinkan menghinanya, tidak juga temanmu!"
Hamid mengucapkan kalimat terakhirnya sambil menuding ke arahku. Aku terkesiap karenanya. Beginilah memang seorang teman. Kadang-kadang kita harus bertanggung-jawab terhadap semua kesalahan yang dilakukan teman yang lain meskipun kita sama sekali tidak tahu menahu asal muasal kesalahan itu. Seperti Hamid sekarang ini, bukankah dia seakan-akan menuntut tanggung jawab dariku, karena temanku berani menghina nama pemberian orang tuanya, yang dianggap suci itu?
Aku belum tahu temanku yang mana, juga belum tahu bagaimana bentuk penghinaan itu. Tetapi tentunya penghinaan itu hebat, kalau tidak, bagaimana Hamid si sabar ini bisa naik pitam?
"Aku pertaruhkan nyawaku untuk menebus penghinaan ini," Hamid melanjutkan dengan bersungguh-sungguh.
Aku diam menunggu dia melontarkan semua yang ada dalam hatinya. Kupikir tidak baik menyela pada keadaan suhu tinggi seperti ini.
"Kau ingin tahu bagaimana temanmu itu menghinaku?" tanya Hamid.
Aku menatapnya dengan pandangan tanpa ekspresi, tetapi akhirnya aku mengangguk pelan.
"Tentu saja aku ingin tahu!" kataku lirih, mencoba mendinginkan suasana.
"Kau tahu nama lengkapku, bukan?" tanya Hamid lagi.
Aku mengangguk. Nama lengkapnya kupikir bukan nama yang jelek apalagi sampai menimbulkan peluang untuk sebuah penghinaan. Sekarang aku semakin heran. Bagaimana mungkin nama Hamid Kartakusuma bisa menimbulkan peluang untuk sebuah olok-olok? Kukira sulit, bagi anak yang paling pandai sekali pun mencari kata olok-olok untuk nama sebagus itu.
"Nah, nama lengkapku itu yang mereka hina habis-habisan!" Hamid melanjutkan, memutuskan jalan pikiranku. "Aku benar-benar marah dan tidak bisa menerima hal ini. Aku ...!"
Hamid tidak melanjutkan kata-katanya, sementara dadanya bergelombang naik turun, mungkin dia teringat kembali akan saat-saat penghinaan itu terjadi, sehingga marahnya meluap lagi.
"Bagaimana mungkin namamu bisa mereka gunakan sebagai olok-olok?" tanyaku akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya.
"Apa? Kau tanya bagaimana mungkin? Ah, bagaimana engkau ini! Nyatanya mereka telah menghina nama itu habis-habisan. Mereka tidak menghargai nama pemberian orang tuaku itu. Padahal bagiku, harga sebuah nama, jauh lebih tinggi dari harga sebuah rumah. Nama adalah kehormatan. Dan kehormatan pantang untuk direndahkan. Manusia yang tidak bisa membela namanya, berarti tidak bisa membela kehormatannya. Orang seperti itu tidak pantas menyebut dirinya manusia!"
Ya, ampun, belajar dari mana si Hamid ini kata-kata seperti itu, gerutuku dalam hati. Dari buku barangkali. Tetapi belajar dari mana tidaklah penting. Yang penting Hamid mengucapkan itu semua dengan suara bersungguh-sungguh.
"Kehormatan memang harus dipertahankan dan dibela!" kataku setuju dengan pendapat Hamid. "Terutama bagi seorang laki-laki. Kehormatan pantas dibela dengan apa saja, bahkan juga dengan nyawa. Aku setuju dengan pendapatmu ini!"
"Bagus!" seru Hamid gembira. "Engkau memang teman sejati!"
"Tetapi satu hal jangan engkau lupakan, kawan!" lanjutku.
Hamid kulihat mengerutkan keningnya.
"Apa itu?" tanyanya kurang senang, mungkin karena kata-kataku sedikit mengganggu kegembiraannya karena mendapat dukungan dariku.
"Kehormatan dan nama tidaklah sama. Kehormatan adalah kehormatan sedangkan nama adalah nama. Apa artinya sebuah nama, begitu seorang pujangga besar pernah menanyakannya!"
Hamid cemberut. Jelas terlihat dia tidak puas dengan kata-kataku.
"Kau tidak setuju dengan kata-kataku?" aku mendahului bertanya cepat-cepat.
Hamid mengangguk.
"Ya, aku tidak setuju dengan pendapatmu. Nama bagiku adalah kehormatan."
Aku tersenyum.
"Tentu saja aku tidak bisa memaksakan sebuah pendapat padamu," kataku. "Kalau engkau beranggapan bahwa nama adalah sebuah kehormatan, itu terserah padamu. Meskipun bagiku, nama adalah nama, dan kehormatan adalah kehormatan!"
"Aku tetap beranggapan bahwa nama adalah sebuah kehormatan, tidak perduli apa pendapatmu!" kata Hamid mantap. "Menghina sebuah nama adalah sama dengan menghina sebuah kehormatan. Dan aku bertekad menebus penghinaan ini, apapun yang harus kukorbankan."
Aku mengangkat pundak. Tidak kuduga kalau Hamid bisa kukuh juga dengan pendapatnya.
"Terserah padamu kalau begitu!" kataku akhirnya.
"Bagus!" lagi-lagi Hamid berseru bagus. Entah sejak kapan kebiasaan itu muncul dari dirinya. "Memang semuanya terserah padaku, karena memang namaku yang terhina, kehormatanku yang terluka. Ayo kau tulis sekarang surat kuasa itu!"
"Kau belum menceritakan semuanya?" tanyaku dan mencoba untuk tersenyum.
"Apanya yang belum kuceritakan?" Hamid balas bertanya. "Bukankah semuanya ... eh, engkau maksudkan bagaimana temanmu itu menghinaku? Begitu?"
Aku mengangguk.
"Tidak!" kata Hamid dengan suara keras. "Tidak akan kukatakan bagaimana temanmu itu menghina namaku. Aku tidak mau mendengar ulangan kata-kata hinaan itu meskipun berasal dari mulutku sendiri. Pokoknya engkau terima saja bahwa temanmu telah menghina namaku."
Kembali aku mengetuk-ngetukkan jari di atas meja. Aku berpikir bagaimana bisa kusadarkan si keras kepala ini? Tiba-tiba sebuah ide melintas di benakku, Ide yang pernah muncul puluhan abad yang lalu dari seorang pujangga besar. Ya, mengapa tidak kugunakan hal ini, untuk melunakkan kekerasan hati si Hamid.
"Eh, kau tahu tentang bunga mawar, tidak?" tanyaku tiba-tiba. Hamid melengak. Jelas dia terkejut mendapat pertanyaan semacam itu dariku.
"Bunga mawar?" gumamnya lirih.
"Ya, bunga mawar!" tegasku keras.
"Apa hubungannya bunga mawar dengan ...!"
"Kau jawab saja pertanyaanku," potongku. "Simpan dulu pertanyaan ataupun komentar yang ada di kepalamu. Kenal tidak dengan bunga mawar?"
"Tentu saja aku kenal!"
"Bagaimana bau bunga itu? Harum, bukan?"
Hamid kulihat mengangguk.
"Bagus engkau tahu ini! Bagaimana seandainya nama bunga mawar kuganti dengan TAHI KUCING? Apakah harumnya akan berubah? Apakah baunya akan menjadi busuk?"
Hamid tidak menjawab. Matanya menatap ke arahku tajam-tajam. Aku tidak tahu apa yang berputar di kepalanya, tetapi aku bisa menerkanya.
"Kau lihat ini. Pujangga dan filsuf besar, Shakespeare, bukan tanpa maksud ketika mengatakan kata-katanya yang sampai sekarang tersohor ini. Apa artinya sebuah nama, tanyanya waktu itu. Bunga mawar dengan nama tahi-kucing pun akan tetap harum baunya. Seribu atau sejuta orang boleh menghina nama Hamid Kartakusuma, tetapi kehormatanmu tidak akan bergeming. Kau tetap Hamid Kartakusuma. Kau tidak akan berubah menjadi mahluk lain karena salah seorang temanmu menghina namamu. Meskipun kau dipanggil dengan sebutan kerbau, umpamanya, engkau tidak akan berubah menjadi kerbau. Sebaliknya seekor kerbau dipanggil dengan namamu, kerbau itu tidak akan berubah menjadi Hamid Kartakusuma."
Kulihat Hamid ternganga waktu itu. Kupikir kata-kataku termakan olehnya.
"Jadi untuk apa kau permasalahkan hal sepele semacam itu? Kehormatanmu tidak pernah ternoda jika cuma namamu yang dihina. Kehormatanmu baru ternoda kalau engkau bertindak yang bukan-bukan, seperti umpamanya tindakan yang kau lakukan sekarang ini. Jadi .…"
Kulihat Hamid masih tetap dengan sikapnya yang ternganga heran. Dia sepertinya tidak lagi mendengarkan kata-kataku yang terakhir.
"Hai ...!" tegurku.
"Bagaimana engkau bisa tahu?" tanyanya lirih padaku.
Aku mengerutkan kening. Kembali aku berhasil dibuat heran oleh pertanyaannya.
"Tahu apa?" tanyaku.
"Tahu kalau mereka menghina dan menyamakan namaku dengan kerbau ...?"
Sekarang ganti aku yang ternganga. Tentu saja aku tidak tahu itu. Aku cuma mengambil kerbau sebagai contoh. Kutatap Hamid yang tetap dengan sikapnya, diam dan tergugu heran. Berhasilkah usahaku memberi kesadaran pada Hamid tentang makna dan harga sebuah nama? Tampaknya aku berhasil, meskipun keberhasilan itu ditunjang oleh keberhasilan mengambil contoh yang secara kebetulan cocok.
Sedangkan untuk temanku, yang sampai saat ini belum kuketahui namanya, yang telah menyamakan nama Hamid Kartakusuma dengan kerbau, diam-diam aku mengumpat. Sialan, hampir saja dia menebus keusilan itu dengan sesuatu yang lain, yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh dia sebelumnya. Untung harga untuk nama itu telah kubayar, kubayar dengan sebuah kebetulan! Sebuah peringatan bagi siapa saja, agar tidak dengan mudah menghina nama seseorang.
Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Poznan, Poland (editing)
tribudhis 23 Apr, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar