Melaksanakan pesta demokrasi sebagai mana mestinya merupakan salah satu wujud dari penerapan demkorasi dalam bidang perpolitikan di Indonesia. Dapat dilihat bersama, perkembangan situasi politik dan keamanan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) secara umum lebih kondusif pasca kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005 silam. Walaupun demikian, proses pelaksanaan pesta demokrasi, Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) NAD 2012, untuk memilih gubernur, wakil gubernur serta kepala daerah di 17 kabupaten/kota di Provinsi aceh, berpotensi menimbulkan kerawanan dan kekhawatiran nasional.
Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk memperlancar Pemilukada NAD, mulai dari mempertemukan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan Pemilukada, penghentian sementara tahapan Pemilukada, dan pembahasan ulang Rancangan Qanun Pemilukada adalah bukti betapa kemelutnya Pemilukada NAD.
Perkembangan fenomena ini memberikan sebuah jawaban atas pengeksklusifan NAD. Berbagai pergolakan yang terjadi mengenai proses Pemilukada NAD dari tahun 2011 hingga awal tahun 2012 ini dapat mengancam stabilitas negara terkait adanya kerawanan yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Selain itu, penundaan pelaksanaan Pemilukada NAD memperlihatkan bahwa kurangnya payung hukum dan ketidaktegasan hukum terkait dengan tahapan baru yang disusun KIP Aceh dan telah dituangkan dalam Surat Keputusan KIP Aceh No 26 tahun 2011. Dengan terus membiarkan keadaan ini berlangsung, dikhawatirkan dampak dominonya akan semakin melebar, tidak hanya menyangkut penyusunan anggaran baru namun juga dapat memicu aksi disintegrasi dari rakyat Aceh untuk memisahkan diri dari Nagara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan, side effect permasalahan ini dapat digunakan oleh pihak lain guna memperjuangkan kepentingan pollitiknya atau melatarbelakanginya dengan kepentingan eksistensi GAM, melalui Partai Aceh (PA) yang merupakan eks-GAM.
Nick R.
Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk memperlancar Pemilukada NAD, mulai dari mempertemukan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan Pemilukada, penghentian sementara tahapan Pemilukada, dan pembahasan ulang Rancangan Qanun Pemilukada adalah bukti betapa kemelutnya Pemilukada NAD.
Perkembangan fenomena ini memberikan sebuah jawaban atas pengeksklusifan NAD. Berbagai pergolakan yang terjadi mengenai proses Pemilukada NAD dari tahun 2011 hingga awal tahun 2012 ini dapat mengancam stabilitas negara terkait adanya kerawanan yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Selain itu, penundaan pelaksanaan Pemilukada NAD memperlihatkan bahwa kurangnya payung hukum dan ketidaktegasan hukum terkait dengan tahapan baru yang disusun KIP Aceh dan telah dituangkan dalam Surat Keputusan KIP Aceh No 26 tahun 2011. Dengan terus membiarkan keadaan ini berlangsung, dikhawatirkan dampak dominonya akan semakin melebar, tidak hanya menyangkut penyusunan anggaran baru namun juga dapat memicu aksi disintegrasi dari rakyat Aceh untuk memisahkan diri dari Nagara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan, side effect permasalahan ini dapat digunakan oleh pihak lain guna memperjuangkan kepentingan pollitiknya atau melatarbelakanginya dengan kepentingan eksistensi GAM, melalui Partai Aceh (PA) yang merupakan eks-GAM.
Nick R.
aoegoesto 12 Mar, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar