Isu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak(BBM) diprediksi tidak akan berujung kepada penggulingan pemerintahan SBY-Boediono. Hal itu sangat sulit terjadi.
"Saya kira sulit," ujar Pengamat Politik Universitas Paramadina, Gun-Gun Heryanto kepada Tribunnews.com, Selasa(13/3/2012).
Sebab, menurut Gun-Gun dalam prototype gerakan politik penurunan rezim minimal harus terpenuhi 5 syarat. Pertama, adanya musuh bersama (common enemy), seperti era Soeharto yang dijadikan musuh bersama pada tahun 1998. Saat ini kata Gun-Gun, Presiden SBY belum menjadi musuh bersama.
"Nah, masalah apakah SBY sekarang sudah menjadi musuh bersama? Saya kira asumsi kegagalan rezim SBY ini masih belum meluas dan belum menempatkan SBY sebagai musuh bersama,"kata Gun-Gun yang juga Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah ini.
Syarat kedua lanjut Gun-Gun, adanya gerakan rakyat yang masif sehingga berpotensi melahirkan 'people power'. Jika gerakan mahasiswa makin masif dan tidak lagi terbatas di kota-kota besar, maka 'people power' mungkin terjadi.
Tetapi dalam konteks kenaikan harga BBM kata Gun-Gun sepertinya belum mengarah ke sana. Berikut, SBY bisa tumbang kalau ada terpaan media yang terus-menerus sehingga rezim SBY, berada dalam delegitimasi.
Media tentu nenjadi peneguh dari gerakan sosial politik yang berkembang di masyarakat. "Keempat, adanya faksionalisme di tubuh militer. Jika militer pecah maka akan memudahkan kekuatan rakyat untuk masuk dan melakukan perlawanan terus-menerus. Sekarang tanda-tanda perpecahan di tubuh militer belum nampak," kata Gun-Gun.
Direktur The Political Literacy Institute ini menjelaskan unsur kelima yang menjadi prasyarat runtuhnya kekuasaan SBY adalah mulai rontoknya dukungan dari sekutu internasional, misalnya dalam konteks ini adalah dukungan Amerika atas bertahannya rezim berkuasa.
Tentu ini lanjutnya, hal ini lebih banyak 'invisible power' karena terkait kerja-kerja diplomasi dan komunikasi politik internasional.
"Dan saya kira parpol-parpol besar dan parpol papan tengah yang sekarang bermitra pun tak akan nyaman jika rezim ini berakhir sebelum waktunya. Karena kepentingan akan terganggunya basis-basis logistik, schedule dalam proses marketing politik, serta resiko jika ada pergantian rezim yang di luar prosedur. Sehingga, pasti akan tetap mempertahankn SBY hingga 2014, meski dengan cara menggerogoti legitimasi SBY sekaligus menaikan pamor mereka, tetapi tidak akan sampai menjatuhkan sebelum waktunya," jelas Gun-Gun.
Menurut Gun-Gun kekuatan yang menentang kenaikan BBM ini akan hanya akan menjadi 'bubble politic' jika elemen-elemen kekuatan rakyat itu tidak memiliki koordinasi nasional dengan menyolidkan agenda bersama dan koordinasi lintas gerakan.
Meski katanya, kenaikan BBM memang bukan isu populis bagi masyarakat. Secara psiko-politis memang akan 'mengganggu' kenyamanan penguasa karena isu kenaikan BBM selalu menohok hajat hidup orang banyak. Walaupun substansi kenaikan BBM itu bisa dipahami dalam konteks pilihan-pilihan sulit pemerintah terkait beban APBN untuk subsidi BBM, tetapi kegamangan pemerintah jelang menaikan BBM itu menstimulasi resistensi terutama dari kelompok berperhatian (attentive public), pressure group, media, sebagian figur politik dan sebagian partai di DPR.
"Jadi ini bukan lagi soal substansi bahwa BBM layak naik atau tidak, ini persoalan 'Uncertainty and Unxiety Management' atau manajemen ketidakpastian dan ketidaknyamanan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mereduksi beban psiko-politis dari kenaikan BBM itu, dengan demikian problemnya ada pada proses komunikasi politik dan komunikasi sosial yang dibangun oleh pemerintah," pungkasnya.
SBY Tidak Akan Lengser Karena Kenaikan Harga BBM - Tribunnews.com
"Saya kira sulit," ujar Pengamat Politik Universitas Paramadina, Gun-Gun Heryanto kepada Tribunnews.com, Selasa(13/3/2012).
Sebab, menurut Gun-Gun dalam prototype gerakan politik penurunan rezim minimal harus terpenuhi 5 syarat. Pertama, adanya musuh bersama (common enemy), seperti era Soeharto yang dijadikan musuh bersama pada tahun 1998. Saat ini kata Gun-Gun, Presiden SBY belum menjadi musuh bersama.
"Nah, masalah apakah SBY sekarang sudah menjadi musuh bersama? Saya kira asumsi kegagalan rezim SBY ini masih belum meluas dan belum menempatkan SBY sebagai musuh bersama,"kata Gun-Gun yang juga Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah ini.
Syarat kedua lanjut Gun-Gun, adanya gerakan rakyat yang masif sehingga berpotensi melahirkan 'people power'. Jika gerakan mahasiswa makin masif dan tidak lagi terbatas di kota-kota besar, maka 'people power' mungkin terjadi.
Tetapi dalam konteks kenaikan harga BBM kata Gun-Gun sepertinya belum mengarah ke sana. Berikut, SBY bisa tumbang kalau ada terpaan media yang terus-menerus sehingga rezim SBY, berada dalam delegitimasi.
Media tentu nenjadi peneguh dari gerakan sosial politik yang berkembang di masyarakat. "Keempat, adanya faksionalisme di tubuh militer. Jika militer pecah maka akan memudahkan kekuatan rakyat untuk masuk dan melakukan perlawanan terus-menerus. Sekarang tanda-tanda perpecahan di tubuh militer belum nampak," kata Gun-Gun.
Direktur The Political Literacy Institute ini menjelaskan unsur kelima yang menjadi prasyarat runtuhnya kekuasaan SBY adalah mulai rontoknya dukungan dari sekutu internasional, misalnya dalam konteks ini adalah dukungan Amerika atas bertahannya rezim berkuasa.
Tentu ini lanjutnya, hal ini lebih banyak 'invisible power' karena terkait kerja-kerja diplomasi dan komunikasi politik internasional.
"Dan saya kira parpol-parpol besar dan parpol papan tengah yang sekarang bermitra pun tak akan nyaman jika rezim ini berakhir sebelum waktunya. Karena kepentingan akan terganggunya basis-basis logistik, schedule dalam proses marketing politik, serta resiko jika ada pergantian rezim yang di luar prosedur. Sehingga, pasti akan tetap mempertahankn SBY hingga 2014, meski dengan cara menggerogoti legitimasi SBY sekaligus menaikan pamor mereka, tetapi tidak akan sampai menjatuhkan sebelum waktunya," jelas Gun-Gun.
Menurut Gun-Gun kekuatan yang menentang kenaikan BBM ini akan hanya akan menjadi 'bubble politic' jika elemen-elemen kekuatan rakyat itu tidak memiliki koordinasi nasional dengan menyolidkan agenda bersama dan koordinasi lintas gerakan.
Meski katanya, kenaikan BBM memang bukan isu populis bagi masyarakat. Secara psiko-politis memang akan 'mengganggu' kenyamanan penguasa karena isu kenaikan BBM selalu menohok hajat hidup orang banyak. Walaupun substansi kenaikan BBM itu bisa dipahami dalam konteks pilihan-pilihan sulit pemerintah terkait beban APBN untuk subsidi BBM, tetapi kegamangan pemerintah jelang menaikan BBM itu menstimulasi resistensi terutama dari kelompok berperhatian (attentive public), pressure group, media, sebagian figur politik dan sebagian partai di DPR.
"Jadi ini bukan lagi soal substansi bahwa BBM layak naik atau tidak, ini persoalan 'Uncertainty and Unxiety Management' atau manajemen ketidakpastian dan ketidaknyamanan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mereduksi beban psiko-politis dari kenaikan BBM itu, dengan demikian problemnya ada pada proses komunikasi politik dan komunikasi sosial yang dibangun oleh pemerintah," pungkasnya.
SBY Tidak Akan Lengser Karena Kenaikan Harga BBM - Tribunnews.com
ri4nx 13 Mar, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar