Permusuhan Israel dan Iran semakin berkobar beberapa bulan terakhir. Pembunuhan Ilmuan Nuklir Iran hingga serangkaian ledakan bom yang menyasar kepentingan Israel di Tbilisi, New Delhi dan Bangkok dikaitkan dengan operasi intelejen masing-masing negara. Ketegangan hubungan Israel dan Iran memang bukan berita baru. Kedua negara memang sama-sama tak sudi menjalin hubungan diplomatik , dan menyimpan bara api permusuhan. Israel dan Iran berada pada dua kutub ekstrem berlawanan.
Republik "Syiah" Iran adalah pendukung perjuangan Palestina, sekaligus penentang Zionisme. Sedangkan Zionis Yahudi Israel memandang Palestina seperti duri dalam daging, dan pihak-pihak yang menyokong perjuangan Palestina, khususnya di Timur –Tengah sebagai ancaman. Perang urat syaraf antara keduanya dalam diplomasi internasional sangat vulgar dan kasar. Iran bersuara lantang, Israel harus dilenyapkan dari peta dunia, Holocaust adalah kebohongan, dan mengecam keras semua aksi brutal Israel di Palestina dan Lebanon. Sedangkan Israel menganggap Iran sebagai negara-negara sponsor terorisme karena menyokong Hizbollah di Lebanon Selatan, dan mendukung gerakan perlawanan Palestina.
Peningkatan kekuatan militer sebuah negara yang arah politiknya berlawanan dapat ditafsirkan sebagai ancaman oleh pihak lain. Sebelum Iran, ada Irak di era Saddam Hussein yang mengambil posisi ektrem terhadap Israel, dan ditunjukan dengan manuver-manuver militernya. Israel akhirnya melancarkan serangan udara terhadap reaktor nuklir Ossirak milik Irak pada tahun 1981. Israel menganggap pengembangan teknologi nuklir Irak sebagai ancaman bagi keamanannya. Setelah rezim Saddam runtuh dan kekuatan militer Irak lumpuh pasca Perang Teluk II, tinggal Iran yang dinilai menjadi satu-satunya ancaman utama Israel. Sebenarnya peningkatan kekuatan militer Iran dan pembangunan fasilitas nuklirnya juga mencemaskan negara-negara Teluk yang khawatir ekspansi pengaruh Syiah. Namun, secara khusus Israel memandang kekuatan militer Iran dan pembangunan fasilitas nuklirnya tidak lain bertujuan menghancurkan Israel.
Pertanyaannya apakah ancaman Israel menyerang reaktor nuklir Iran akan benar-benar terjadi. Di atas kertas, kekuatan militer negeri Yahudi itu jauh mengungguli Iran, bahkan negara-negara Arab sekalipun, kendati mereka menyatukan kekuatan. Israel juga menjadi satu-satunya negara di Timur-Tengah yang mempunyai bom nuklir. Namun, perang bisa menjadi sebuah "Mission Imposible". David (Daud) berhasil mengalahkan Goliath (Jalut) dengan berbekal keyakinan dan semangat juang. Faktanya dalam agresi ke Gaza, Israel bukanlah David sebagaimana yang mereka dengungkan, namun sebagai Goliath yang melawan Hamas. Meski mampu membuat Gaza porak-poranda, misi Israel melumpuhkan Hamas dan membebaskan Kopral Gilad Shalit, gagal total. Jika opsi menyerang Iran benar-benar diambil Israel, seperti halnya Operasi Ossirak, Israel kemungkinan melancarkan operasi udara. Namun Tel Aviv dihadapkan kendala jauhnya jarak ke Iran—burung besi Israel harus melewati wilayah udara Yordania, Arab Saudi, Irak, yang tentu merupakan pelanggaran wilayah udara bila tidak mendapat lampu hijau dari negara-negara tersebut, belum lagi besarnya budjet operasional mengingat target begitu jauh--, pertahanan Iran tentu juga sudah bersiap mengantisipasi serangan Israel. Bila perang berkembang lebih jauh, stabilitas regional terganggu dan dunia internasional juga akan terkena imbasnya. Bukan tidak mungkin Iran akan menyerang membabi buta dengan rudal-rudal jarak jauhnya, dan memblokade selat Hormuz yang mengakibatkan terhambatnya pasokan minyak dunia serta berdampak buruk pada perekonomian dunia. Bukanlah perang bila akhir ceritanya tidak merugikan kehidupan.
Republik "Syiah" Iran adalah pendukung perjuangan Palestina, sekaligus penentang Zionisme. Sedangkan Zionis Yahudi Israel memandang Palestina seperti duri dalam daging, dan pihak-pihak yang menyokong perjuangan Palestina, khususnya di Timur –Tengah sebagai ancaman. Perang urat syaraf antara keduanya dalam diplomasi internasional sangat vulgar dan kasar. Iran bersuara lantang, Israel harus dilenyapkan dari peta dunia, Holocaust adalah kebohongan, dan mengecam keras semua aksi brutal Israel di Palestina dan Lebanon. Sedangkan Israel menganggap Iran sebagai negara-negara sponsor terorisme karena menyokong Hizbollah di Lebanon Selatan, dan mendukung gerakan perlawanan Palestina.
Peningkatan kekuatan militer sebuah negara yang arah politiknya berlawanan dapat ditafsirkan sebagai ancaman oleh pihak lain. Sebelum Iran, ada Irak di era Saddam Hussein yang mengambil posisi ektrem terhadap Israel, dan ditunjukan dengan manuver-manuver militernya. Israel akhirnya melancarkan serangan udara terhadap reaktor nuklir Ossirak milik Irak pada tahun 1981. Israel menganggap pengembangan teknologi nuklir Irak sebagai ancaman bagi keamanannya. Setelah rezim Saddam runtuh dan kekuatan militer Irak lumpuh pasca Perang Teluk II, tinggal Iran yang dinilai menjadi satu-satunya ancaman utama Israel. Sebenarnya peningkatan kekuatan militer Iran dan pembangunan fasilitas nuklirnya juga mencemaskan negara-negara Teluk yang khawatir ekspansi pengaruh Syiah. Namun, secara khusus Israel memandang kekuatan militer Iran dan pembangunan fasilitas nuklirnya tidak lain bertujuan menghancurkan Israel.
Pertanyaannya apakah ancaman Israel menyerang reaktor nuklir Iran akan benar-benar terjadi. Di atas kertas, kekuatan militer negeri Yahudi itu jauh mengungguli Iran, bahkan negara-negara Arab sekalipun, kendati mereka menyatukan kekuatan. Israel juga menjadi satu-satunya negara di Timur-Tengah yang mempunyai bom nuklir. Namun, perang bisa menjadi sebuah "Mission Imposible". David (Daud) berhasil mengalahkan Goliath (Jalut) dengan berbekal keyakinan dan semangat juang. Faktanya dalam agresi ke Gaza, Israel bukanlah David sebagaimana yang mereka dengungkan, namun sebagai Goliath yang melawan Hamas. Meski mampu membuat Gaza porak-poranda, misi Israel melumpuhkan Hamas dan membebaskan Kopral Gilad Shalit, gagal total. Jika opsi menyerang Iran benar-benar diambil Israel, seperti halnya Operasi Ossirak, Israel kemungkinan melancarkan operasi udara. Namun Tel Aviv dihadapkan kendala jauhnya jarak ke Iran—burung besi Israel harus melewati wilayah udara Yordania, Arab Saudi, Irak, yang tentu merupakan pelanggaran wilayah udara bila tidak mendapat lampu hijau dari negara-negara tersebut, belum lagi besarnya budjet operasional mengingat target begitu jauh--, pertahanan Iran tentu juga sudah bersiap mengantisipasi serangan Israel. Bila perang berkembang lebih jauh, stabilitas regional terganggu dan dunia internasional juga akan terkena imbasnya. Bukan tidak mungkin Iran akan menyerang membabi buta dengan rudal-rudal jarak jauhnya, dan memblokade selat Hormuz yang mengakibatkan terhambatnya pasokan minyak dunia serta berdampak buruk pada perekonomian dunia. Bukanlah perang bila akhir ceritanya tidak merugikan kehidupan.
denol 15 Mar, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar