Kisah 'Laskar Pelangi' dari Timor Tengah Selatan

Kisah 'Laskar Pelangi' dari Timor Tengah Selatan, NTT
1,5 Jam Taklukkan Medan Terjal Menuju Sekolah


[imagetag] [Image: 184837_251704_boks_ntt_dalem.jpg]
Angkutan Gratis : Anak-anak sekolah di sekitar tambang mempersingkat jalan mereka dengan menumpang mobil proyek tambang sepulang sekolah di Desa Supul, Kecamatan Kuatnana, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Foto : Boy Slamet/Jawa Pos
Pendidikan menjadi barang yang mahal di daerah terpencil seperti Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT). Untuk mencapai sekolah, anak-anak di sana harus berjalan kaki menembus rute yang terjal.


UMAR WIRAHADI, Timor Tengah Selatan

FILM Laskar Pelangi mempertontonkan begitu gigihnya perjuangan anak-anak Belitung dalam mencari ilmu. Sepuluh anak miskin belajar dalam ruang yang sama mulai kelas I SD sampai III SMP di sekolah Muhammadiyah yang penuh keterbatasan. Namun, itu tak mengurangi semangat anak-anak yang menamakan dirinya Laskar Pelangi tersebut.

Nah, dalam perspektif dan background berbeda, kisah Laskar Pelangi itu kini ada di Desa Supul, Kecamatan Kuatnana, Timor Tengah Selatan, NTT. Untuk mencapai sekolah, anak-anak di sana harus berjuang keras menaklukkan jalan yang panas dan berkerikil.

Meski begitu, mereka tidak patah semangat. Untuk mengusir lelah, sesekali terdengar canda tawa khas di antara mereka. Rona keceriaan terpancar dari wajah mereka yang polos.

Ada dua kampung utama yang didiami warga. Yakni, Kampung Suti dan Oefeno. Jarak Kampung Suti ke SD Inpres Supul Meo sekitar 3 kilometer. Sedangkan Kampung Oefeno sekolah berjarak 9 kilometer. Saban hari, agar tidak terlambat sampai di sekolah, para siswa itu berangkat pukul 05.00 Wita dengan durasi perjalanan sekitar satu setengah jam.

"Tak ada pilihan lain, anak-anak kami setiap hari ke sekolah berjalan kaki," ungkap Edmon Bula, 29, salah seorang warga Kampung Oefeno.

Medan di sana memang sulit. Kondisinya bergunung-gunung. Jalan pun terjal dan membahayakan. Jika pun memiliki sepeda, bocah-bocah itu tak akan mungkin menaikinya. Bahkan, tak sembarang kendaraan bisa melewati jalan tersebut. Biasanya hanya motor gunung dan mobil Rangers yang biasa melewati jalan itu.

"Jika tak ada tumpangan mobil dari tambang, satu-satunya cara yang paling aman ya jalan kaki," ujar Edmon Bula.

Kampung Oefeno dihuni sekitar 260 jiwa dari 50 kepala keluarga (KK). Kampung tersebut berdampingan langsung dengan lokasi tambang batu mangan milik PT Soe Makmur Resources (PT SMR). Setiap hari sekitar 1.200 warga terlibat di pertambangan itu.

Jalan yang dilalui para siswa menuju sekolah adalah jalan menuju lokasi tambang. Awalnya jalan tersebut hanya jalan setapak yang sempit dan becek. Namun, setelah perusahaan tambang PT SMR masuk pada 2008, jalan pun diperlebar. Bukit dan pohon-pohon dikeruk untuk memudahkan akses lalu lalang kendaraan perusahaan asal Jakarta itu. Bahkan, bekas kerukan dengan alat berat di sisi-sisi bukit masih terlihat. Kondisi tersebut amat membahayakan pengguna jalan karena rawan longsor.

"Sekarang akses sudah cukup bagus. Warga di pedalaman juga tidak terisolasi lagi," tutur Staf Humas PT SMR Jefry Unbanunaek kepada Jawa Pos.

Dengan akses yang sudah diperlebar, bukan hanya mobil-mobil tambang yang merasakan manfaatnya. Warga dan para siswa yang hendak ke sekolah pun semakin mudah. Jika beruntung, para siswa bisa menumpang mobil-mobil tambang secara gratis. Itu membantu mereka untuk cepat sampai sekolah atau pulang ke rumah.

"Anak-anak cukup terbantu dengan adanya mobil tambang. Mereka bisa numpang gratis," kata Jefry.


>>>>>>>>>>>>>>>>>>

(author unknown) 29 Feb, 2012

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...