Malaysia. Malingsia. Atau apalah namanya. Negara yang mengagung-agungkan saudara serumpun dengan negara kita, Indonesia. Negara tetangga. Entah siapa yang memberikan nama, ku tak tahu. Juga segala macam julukan yang kini merebak , tertuju pada mereka.
Lagi-lagi Malaysia berulah lagi. Ehm, deret kata yang nggak asing lagi. Ya, itulah headline news saat kucoba membuka situs-situs berita terbaru di internet. Mataku mulai lincah mengikuti setiap deret kata yang terpampang di layar komputer. Walau hanya sekilas, tak apalah. Tapi jujur, aku merasa kalau komentar pembaca lebih menarik untuk dibaca. Ada yang pro, dan pasti juga ada yang kontra. Tapi intinya sama. Semua menginginkan masalah ini cepat terselesaikan.
Pikiranku mulai jauh melayang, dan kini mulai menata suatu gagasan. Entah gagasan bermutu apa nggak, ah bodo amat. Yang penting sekarang aku merasakan suatu rasa yang membuncah dalam jiwaku. Nasionalisme.
Memang, PKN bukan menjadi pelajaran favoritku di sekolah. Tapi setidaknya aku mulai paham, bagaimana posisiku sebagai warga negara. Aku bukan pejabat negara, bukan politikus, bukan pula wartawan. Aku hanya pelajar, berbaris berseragam rapi saat upacara bendera di hari Senin. Tapi aku hanya ingin semua tahu. Ini kami, generasi bangsa yang tak pernah takut untuk berteriak: AKU CINTA INDONESIA.
Maaf, mungkin terlalu menggebu-gebu. Tapi kata-kata itu cukuplah untuk mewakili perasaanku sebagai anak bangsa yang juga ingin ikut andil dalam mengangkat harkat dan martabat suatu bangsa apabila bangsa lain melecehkannya. Gimana nggak, setiap indikator terakhir dalam pembelajaran PKN-ku di sekolah, pasti bunyinya "Menunjukkan sikap positif dari …." Dan itu telah tertanam dan aku telah hafal, gak perlu guru menyebutkannya pun aku sudah duluan mencatatnya di buku catatan. Ehm, malah ngawur neh, cerita sekolah..(hahah). Tapi yang pasti pelajar sepertiku juga geram dengan kondisi sekarang, bisa disebutlah, kedaulatan yang tergadai.
Mulai dari kondisi geografis, batas negara yang belum jelas antara Indonesia-Malaysia, hingga memunculkan konflik baru perebutan wilayah. Malaysia menganggap masih wilayahnya, tanpa enggan menyusup dalam perairan laut Indonesia. Nah ironisnya lagi pejabat negara kita yang menjalankan tugasnya malah ditangkap dan diganti seragamnya menjadi baju tahanan oleh negara Malaysia. Kata-kata mengherankan dan aneh mungkin tidak cukup mewakili kejadian tersebut. Dimana harga diri kita sebagai bangsa Indonesia?
Beralih ke sektor budaya. Malaysia mengklaim angklung dan heboh lagu Rasa Sayang-Sayange , negara yang lagi gencar ngepromosiin keserakahannya pariwisata itu sekarang juga ngeklaim kalo wayang kulit bukan berasal dari Indonesia. Lama-kelamaan budaya kita bakal dibabat habis nih, sama Malaysia. Kita boleh bangga kalau kita kaya budaya. Kita boleh saja berkoar-koar kalau kita pantas untuk berbangga dengan semua kekayaan yang kita miliki. Tapi apa itu semua ada bukti? Toh, percuma saja kita membusungkan dada, mengangkat dagu berbangga kaya kalau ternyata negara lain sudah ngeklaim dan mematenkannya terlebih dahulu. Lha , yang ada Indonesia cuma bisa gigit jari.
Kalo udah gini caranya, kita nggak mungkin ngelakuin 225 (rumus senyum –kudapat dari guruku- 2 senti kanan 2 senti kiri 5 detik) lalu membuka tangan menyuguhi sajian lezat, membiarkan tamu yang datang merogoh saku baju dan celana hingga semua habis kosong melompong. Dan pada akhirnya? Sampai airmata kering, hingga airmata darah pun gak cukup buat ngembaliin keadaan seperti semula. (lebay.version…eheh)
Lalu apa yang musti kita lakuin neh? Apa solusi yang tepat agar negara lain -khususnya Malaysia- tidak melecehkan dan semena-mena pada Indonesia tercinta ini? Berunjuk rasa? Membakar bendera Malaysia? Buat onar en ngelemparin kotoran ke Kedubes Malaysia di Jakarta? TIDAK! Kita adalah kaum intelek-terpelajar-terdidik. Indonesia TIDAK bodoh. Kenapa nggak coba buat bersikap realistis, rasional, gtu. Okelah kalau kita marah, kita mungkin nggak bisa ngendaliin emosional kita saat harga diri kita terasa diinjak-injak. Kita bagaikan lebah yang berdengung marah mengejar pengganggu yang menyusup ke sarangnya.
Tapi kalau kita berpikir balik, apa ini nyelesaiin masalah? Kalau boleh berpendapat, menurutku justru menambah masalah. Jika kita melihat kesalahan Malaysia, apa mustahil mereka melihat kesalahan Indonesia juga? Tentu mereka dapat menuntut balik negaranya yang juga dilecehkan. Kita tidak ingin dilecehkan, maka bersikaplah untuk tidak melecehkan pula. Tak bedalah dengan –yang dikatakan guruku di sekolah- Kita ingin dihargai, maka bersikaplah menghargai pula. Ini bukan pembelaan bagi mereka. Tapi kita mungkin perlu berpikir sedikit tentang imbas bagi negara kita yang ingin menuntut mereka, namun perilaku protes kita yang –bisa disebut- tidak proporsional itu malah menjadi pembelaan bagi mereka yang juga merasa terlecehkan.
Baca kutipan dari Pak Robert, aku setuju banget tuh. Kita nggak bisa sibuk dengan kemarahan dan emosional. Kita tak boleh terjebak dengan aksi politiknya Malaysia. Dengan kesibukan protes tersebut, pertumbuhan ekonomi kita terancam. Nah jika ekonomi kita telah hancur, pasti TKI yang ada di Malaysia membludak. Toh mereka menyebut rakyat kita disana dengan sebutan "indon." Indonesia hanya nyalurin tenaga kerjanya buat dilecehin, plus kerja menutupi kemalasannya mereka. Gagalkah pemerintah menyejahterakan rakyat jika untuk menyediakan lapangan kerja di dalam negara tidak bisa? So, jawabannya ada di hati kita masing-masing.
Namun di satu sisi aku senang, di media massa sekarang udah banyak yang nampilin program-progran yang ngepromosiin budaya dan karakter bangsa. Dengan adanya cobaan-ujian ini kita makin kuat mempertahankan kekayaan Indonesia.
Satu lagi kumohon, pada para pejabat negara –petinggi negara- khususnya Pak Presiden SBY, kami rakyat Indonesia ingin "merdeka" pak. Merdeka dari kemiskinan. Merdeka dari kebodohan. Merdeka dari korupsi. Merdeka dari injakan negara lain. Sejatinya merdeka orang-orang yang merdeka. Pastinya kita tidak butuh lawan –prinsip zero enemy; I like it- tetapi jika kita telah "ditindas," apalagi itu menyangkut kedaulatan, tak usahlah takut dan segan-segan untuk lebih tegas, bertindak lebih cepat, sebelum semuanya terlambat.
Beribu-ribu pulau, dari aceh hingga papua, dari Samudra Pasifik hingga ke Samudra Hindia. Juga ekuator yang membentangi. Ku teriakkan sekali lagi AKU CINTA INDONESIA! :devilish1:
Bisnis Sampingan
Lagi-lagi Malaysia berulah lagi. Ehm, deret kata yang nggak asing lagi. Ya, itulah headline news saat kucoba membuka situs-situs berita terbaru di internet. Mataku mulai lincah mengikuti setiap deret kata yang terpampang di layar komputer. Walau hanya sekilas, tak apalah. Tapi jujur, aku merasa kalau komentar pembaca lebih menarik untuk dibaca. Ada yang pro, dan pasti juga ada yang kontra. Tapi intinya sama. Semua menginginkan masalah ini cepat terselesaikan.
Pikiranku mulai jauh melayang, dan kini mulai menata suatu gagasan. Entah gagasan bermutu apa nggak, ah bodo amat. Yang penting sekarang aku merasakan suatu rasa yang membuncah dalam jiwaku. Nasionalisme.
Memang, PKN bukan menjadi pelajaran favoritku di sekolah. Tapi setidaknya aku mulai paham, bagaimana posisiku sebagai warga negara. Aku bukan pejabat negara, bukan politikus, bukan pula wartawan. Aku hanya pelajar, berbaris berseragam rapi saat upacara bendera di hari Senin. Tapi aku hanya ingin semua tahu. Ini kami, generasi bangsa yang tak pernah takut untuk berteriak: AKU CINTA INDONESIA.
Maaf, mungkin terlalu menggebu-gebu. Tapi kata-kata itu cukuplah untuk mewakili perasaanku sebagai anak bangsa yang juga ingin ikut andil dalam mengangkat harkat dan martabat suatu bangsa apabila bangsa lain melecehkannya. Gimana nggak, setiap indikator terakhir dalam pembelajaran PKN-ku di sekolah, pasti bunyinya "Menunjukkan sikap positif dari …." Dan itu telah tertanam dan aku telah hafal, gak perlu guru menyebutkannya pun aku sudah duluan mencatatnya di buku catatan. Ehm, malah ngawur neh, cerita sekolah..(hahah). Tapi yang pasti pelajar sepertiku juga geram dengan kondisi sekarang, bisa disebutlah, kedaulatan yang tergadai.
Mulai dari kondisi geografis, batas negara yang belum jelas antara Indonesia-Malaysia, hingga memunculkan konflik baru perebutan wilayah. Malaysia menganggap masih wilayahnya, tanpa enggan menyusup dalam perairan laut Indonesia. Nah ironisnya lagi pejabat negara kita yang menjalankan tugasnya malah ditangkap dan diganti seragamnya menjadi baju tahanan oleh negara Malaysia. Kata-kata mengherankan dan aneh mungkin tidak cukup mewakili kejadian tersebut. Dimana harga diri kita sebagai bangsa Indonesia?
Beralih ke sektor budaya. Malaysia mengklaim angklung dan heboh lagu Rasa Sayang-Sayange , negara yang lagi gencar ngepromosiin keserakahannya pariwisata itu sekarang juga ngeklaim kalo wayang kulit bukan berasal dari Indonesia. Lama-kelamaan budaya kita bakal dibabat habis nih, sama Malaysia. Kita boleh bangga kalau kita kaya budaya. Kita boleh saja berkoar-koar kalau kita pantas untuk berbangga dengan semua kekayaan yang kita miliki. Tapi apa itu semua ada bukti? Toh, percuma saja kita membusungkan dada, mengangkat dagu berbangga kaya kalau ternyata negara lain sudah ngeklaim dan mematenkannya terlebih dahulu. Lha , yang ada Indonesia cuma bisa gigit jari.
Kalo udah gini caranya, kita nggak mungkin ngelakuin 225 (rumus senyum –kudapat dari guruku- 2 senti kanan 2 senti kiri 5 detik) lalu membuka tangan menyuguhi sajian lezat, membiarkan tamu yang datang merogoh saku baju dan celana hingga semua habis kosong melompong. Dan pada akhirnya? Sampai airmata kering, hingga airmata darah pun gak cukup buat ngembaliin keadaan seperti semula. (lebay.version…eheh)
Lalu apa yang musti kita lakuin neh? Apa solusi yang tepat agar negara lain -khususnya Malaysia- tidak melecehkan dan semena-mena pada Indonesia tercinta ini? Berunjuk rasa? Membakar bendera Malaysia? Buat onar en ngelemparin kotoran ke Kedubes Malaysia di Jakarta? TIDAK! Kita adalah kaum intelek-terpelajar-terdidik. Indonesia TIDAK bodoh. Kenapa nggak coba buat bersikap realistis, rasional, gtu. Okelah kalau kita marah, kita mungkin nggak bisa ngendaliin emosional kita saat harga diri kita terasa diinjak-injak. Kita bagaikan lebah yang berdengung marah mengejar pengganggu yang menyusup ke sarangnya.
Tapi kalau kita berpikir balik, apa ini nyelesaiin masalah? Kalau boleh berpendapat, menurutku justru menambah masalah. Jika kita melihat kesalahan Malaysia, apa mustahil mereka melihat kesalahan Indonesia juga? Tentu mereka dapat menuntut balik negaranya yang juga dilecehkan. Kita tidak ingin dilecehkan, maka bersikaplah untuk tidak melecehkan pula. Tak bedalah dengan –yang dikatakan guruku di sekolah- Kita ingin dihargai, maka bersikaplah menghargai pula. Ini bukan pembelaan bagi mereka. Tapi kita mungkin perlu berpikir sedikit tentang imbas bagi negara kita yang ingin menuntut mereka, namun perilaku protes kita yang –bisa disebut- tidak proporsional itu malah menjadi pembelaan bagi mereka yang juga merasa terlecehkan.
Baca kutipan dari Pak Robert, aku setuju banget tuh. Kita nggak bisa sibuk dengan kemarahan dan emosional. Kita tak boleh terjebak dengan aksi politiknya Malaysia. Dengan kesibukan protes tersebut, pertumbuhan ekonomi kita terancam. Nah jika ekonomi kita telah hancur, pasti TKI yang ada di Malaysia membludak. Toh mereka menyebut rakyat kita disana dengan sebutan "indon." Indonesia hanya nyalurin tenaga kerjanya buat dilecehin, plus kerja menutupi kemalasannya mereka. Gagalkah pemerintah menyejahterakan rakyat jika untuk menyediakan lapangan kerja di dalam negara tidak bisa? So, jawabannya ada di hati kita masing-masing.
Namun di satu sisi aku senang, di media massa sekarang udah banyak yang nampilin program-progran yang ngepromosiin budaya dan karakter bangsa. Dengan adanya cobaan-ujian ini kita makin kuat mempertahankan kekayaan Indonesia.
Satu lagi kumohon, pada para pejabat negara –petinggi negara- khususnya Pak Presiden SBY, kami rakyat Indonesia ingin "merdeka" pak. Merdeka dari kemiskinan. Merdeka dari kebodohan. Merdeka dari korupsi. Merdeka dari injakan negara lain. Sejatinya merdeka orang-orang yang merdeka. Pastinya kita tidak butuh lawan –prinsip zero enemy; I like it- tetapi jika kita telah "ditindas," apalagi itu menyangkut kedaulatan, tak usahlah takut dan segan-segan untuk lebih tegas, bertindak lebih cepat, sebelum semuanya terlambat.
Beribu-ribu pulau, dari aceh hingga papua, dari Samudra Pasifik hingga ke Samudra Hindia. Juga ekuator yang membentangi. Ku teriakkan sekali lagi AKU CINTA INDONESIA! :devilish1:
Bisnis Sampingan
cipirit 23 Feb, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar