Jakarta Mengapa hukuman bagi para koruptor cenderung rendah? Pertanyaan semacam ini sering muncul ketika hakim memutuskan vonis kepada terdakwa korupsi. Menurut Reza Indragiri Amriel, pakar hukum dari Universitas Bina Nusantara (Binus), hal tersebut dikarenakan persepsi hakim dalam memutuskan terjadi pergeseran.
"Dalam kasus maling ayam, karena dilakukan secara solo (sendiri), itu meyakinkan hakim bahwa kelakuan si pelaku adalah hasil dari psikologisnya sendiri atau atribusi internal. Sedangkan dalam kasus korupsi, karena terdakwa menyeret-nyeret banyak nama, persepsi hakim tergeser," jelas Reza Indragiri melalui pesan singkatnya kepada detikcom, Minggu (29/4/2012).
Lebih kanjut Reza menjelaskan, pergesera persepsi hakim tersebut dikarenakan lebih dominannya faktor situasi. seperti hukuman yang sudah ditetapkan dalam undang-undang memang rendah.
"Hakim melihat faktor situasi lebih dominan. Sangsi rendah, dengan demikian, merupakan cerminan ketidakyakinan hakim bahwa pelaku adalah pihak yang sudah seharusnya mempertanggungjawabkan sendiri atau langsung perbuatannya," ungkap Reza.
Reza juga mengatakan, vonis yang rendah juga dikarenakan hakim mengikut tren, dalam artian mengikuti putusan-putusan yang telah diputuskan sebelumnya dalam kasus yang serupa.
"Dalam memutuskan perkara, hakim juga melihat putusan-putusan yang dihasilkan para koleganya dalam kasus-kasus serupa. Artinya, hakim menjatuhkan hukuman ringan karena itulah trennya," ucapnya.
Reza menambahkan, rendahnya vonis bagi koruptor juga dikarenakan bahwa kejahatan korupsi ini adalah kejahatan tanpa korban. Oleh karenanya, hakim membutuhkan pembuktian viktimologi (ilmu yang mempelajari tentang korban.
"Korupsi adalah kejahatan tanpa korban. Itu mempersulit hakim saat membayangkan akibat nyata korupsi betapapun korupsi disebut merugikan negara. Jadi, hakim butuh viktimologi," jelasnya.
Oleh karenanya, jika ingin meninggikan hukuman bagi koruptor, maka patokan hukumannya dalam undang-undang harus ditinggikan.
"Jenis hukuman merupakan anchor (patokan). Ketika sangsi untuk korupsi adalah misalnya 1-20 tahun, maka angka 1 justru memunculkan kesan bahwa korupsi bisa jadi bukan perkara serius. Jadi, tinggikan anchor-nya, misalnya 5 sampai 20 tahun. Maka hakim akan memilih 9 tahun," jelasnya.
"Berhati-hatilah saat bekerja di bawah naungan psikologi kognitif," imbuhnya.
sumber
"Dalam kasus maling ayam, karena dilakukan secara solo (sendiri), itu meyakinkan hakim bahwa kelakuan si pelaku adalah hasil dari psikologisnya sendiri atau atribusi internal. Sedangkan dalam kasus korupsi, karena terdakwa menyeret-nyeret banyak nama, persepsi hakim tergeser," jelas Reza Indragiri melalui pesan singkatnya kepada detikcom, Minggu (29/4/2012).
Lebih kanjut Reza menjelaskan, pergesera persepsi hakim tersebut dikarenakan lebih dominannya faktor situasi. seperti hukuman yang sudah ditetapkan dalam undang-undang memang rendah.
"Hakim melihat faktor situasi lebih dominan. Sangsi rendah, dengan demikian, merupakan cerminan ketidakyakinan hakim bahwa pelaku adalah pihak yang sudah seharusnya mempertanggungjawabkan sendiri atau langsung perbuatannya," ungkap Reza.
Reza juga mengatakan, vonis yang rendah juga dikarenakan hakim mengikut tren, dalam artian mengikuti putusan-putusan yang telah diputuskan sebelumnya dalam kasus yang serupa.
"Dalam memutuskan perkara, hakim juga melihat putusan-putusan yang dihasilkan para koleganya dalam kasus-kasus serupa. Artinya, hakim menjatuhkan hukuman ringan karena itulah trennya," ucapnya.
Reza menambahkan, rendahnya vonis bagi koruptor juga dikarenakan bahwa kejahatan korupsi ini adalah kejahatan tanpa korban. Oleh karenanya, hakim membutuhkan pembuktian viktimologi (ilmu yang mempelajari tentang korban.
"Korupsi adalah kejahatan tanpa korban. Itu mempersulit hakim saat membayangkan akibat nyata korupsi betapapun korupsi disebut merugikan negara. Jadi, hakim butuh viktimologi," jelasnya.
Oleh karenanya, jika ingin meninggikan hukuman bagi koruptor, maka patokan hukumannya dalam undang-undang harus ditinggikan.
"Jenis hukuman merupakan anchor (patokan). Ketika sangsi untuk korupsi adalah misalnya 1-20 tahun, maka angka 1 justru memunculkan kesan bahwa korupsi bisa jadi bukan perkara serius. Jadi, tinggikan anchor-nya, misalnya 5 sampai 20 tahun. Maka hakim akan memilih 9 tahun," jelasnya.
"Berhati-hatilah saat bekerja di bawah naungan psikologi kognitif," imbuhnya.
sumber
black-ops 30 Apr, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar