Berdamai dengan Dosa
Kesalahan dan dosa masa lalu bak lukisan
Tak terhapuskan! Semakin keras usaha dilakukan
Untuk menghilangkan, semakin terang sang lukisan terpampang!
Karenanya betapa bahagianya mereka yang selalu ingat
Untuk tak melakukan dosa!
Di kamar pengakuan dosa sebuah gereja kecil.
"Romo," seorang wanita yang sudah tidak muda lagi terdengar berkata dari bilik pengakuan dosa, "saya datang ke sini bukan untuk bertobat, tetapi untuk bercerita! Saya tidak tahu kepada siapa saya bisa bercerita dengan aman. Itulah sebabnya saya datang ke sini! Saya pernah menyaksikan sebuah film yang inti ceritanya ingin menyampaikan bagaimana seorang pastur dengan gigih dan mati-matian mempertahankan rahasia seseorang yang diucapkan di kamar pengakuan dosa. Meskipun diancam dan hendak dibunuh sampai diakhir cerita pastur tersebut tetap mepertahankan rahasia. Jadi ...!"
"Nyonya tidak usah ...!"
"Jangan panggil saya nyonya, romo!" wanita itu memotong kata-kata romo. "Panggil saja dengan nama kecil saya. Titis!"
"Baiklah Titis!" kata romo itu tetap lembut dan sabar. "Apa yang engkau ucapkan di kamar ini, cuma aku dan Tuhan yang boleh tahu dan yang akan mendengarkan. Lain dari itu tidak ada! Oh ya, tadi engkau mengatakan kedatanganmu bukan untuk bertobat tetapi sekedar untuk menceritakan sesuatu? Itu tidak penting, Titis! Yang pertama-tama perlu kuberitahukan adalah keluarkan semua yang ada dalam hatimu. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Di depan Tuhan tak ada rahasia, Titis. Semuanya terbuka lebar!"
Wanita itu mengangguk pelan. Mengambil sapu tangan kecil berwarna kuning gading dari tasnya, mengusap muka perlahan dan menatap dinding kamar di depannya. Romo ada di balik dinding. Betapa inginnya ia berbincang-bincang tanpa dihalangi dinding.
"Titis, kau masih bimbang?" tanya romo lagi. Rupanya romo yang satu ini bisa merasakan ada sesuatu yang membuat wanita itu tidak cepat-cepat mengeluarkan isi hatinya. Titis mengangguk.
"Benar, romo!" katanya setelah mengangguk. Wanita itu tahu kalau anggukannya tidak akan terlihat oleh romo.
"Apa yang kau bimbangkan? Mungkin aku bisa membantumu!"
"Saya ...!"
"Kau tidak usah bimbang dan ragu. Kebimbangan tidak memecahkan masalah. Kebimbangan dan keragu-raguan cuma menciptakan masalah baru. Atasi rasa bimbang dan ragu-ragumu dan kau akan mendapatkan ketenangan!"
"Saya ingin berbicara di depan romo tanpa dibatasi dinding ini!"
"Oh ya? Tetapi tadi engkau ingin berbicara di kamar ini!"
"Saya takut sendirian, Romo. Saya ingin melihat seseorang berada di dekat saya ketika menceritakan hal ini!"
"Baiklah! Berbicara di mana saja sama saja di mata Tuhan. Yang penting bagi Dia adalah ketulusan dan kehendak baik. Lain dari itu bukan masalah bagiNya. Ayo bicara di kamar kerjaku!"
Romo membuka pintu dan dengan lembut menggandeng wanita yang sudah tidak muda itu. Romo Paulus sudah berumur lima puluh tiga tahun lebih. Beragam umat dengan berbagai macam persoalan pernah dihadapi. Persoalan seperti yang dialami wanita muda ini, ragu-ragu dan bimbang ketika akan mengungkapkan sebuah pengakuan, adalah hal yang paling sering dilihatnya.
"Melontarkan semua yang ada dalam hati pada seseorang, pasti akan meringankan beban!" kata romo dalam perjalanan ke ruang kerjanya. "Percayalah padaku, Titis!"
Titis mengangguk sambil berkali-kali menarik nafas panjang.
"Ayo duduk!" kata romo Paulus lembut menyilahkan Titis ketika mereka berada di ruang kerja romo Paulus. Titis duduk. Romo Paulus juga duduk.
Senyum romo Paulus yang lembut perlahan-lahan mengusir kebimbangan di hati wanita itu.
"Engkau boleh mulai bercerita!" kata romo Paulus.
"Baik romo!" kata Titis. "Romo sudah tahu nama lengkap saya, di mana saya tinggal dan bagaimana kehidupan saya selama ini?"
Romo Paulus menggeleng.
"Kalau engkau mau menceritakan padaku aku akan mendengarkan. Tetapi kalau engkau keberatan bagiku tidak ada masalah. Yang penting, adalah persoalanmu. Bagiku tidak penting latar belakang dan keadaan dirimu tetapi persoalan yang selama ini merisaukan dirimulah yang penting bagiku."
"Saya pembunuh, Romo!" kata Titis tiba-tiba. "Dan bukan cuma seorang yang saya bunuh tetapi sekeluarga. Bapak, ibu dan tiga anaknya!"
Ada sinar terkejut di mata Romo Paulus tetapi cuma sekejab. Sinar itu segera hilang. Mata romo Paulus kembali berubah tenang, setenang telaga.
"Romo tidak terkejut?" Titis bertanya heran melihat romo Paulus sama sekali tidak terkejut dengan pengakuannya yang tiba-tiba.
Romo Paulus menggeleng.
"Aku tidak terkejut," kata romo Paulus. "Aku belum mendengar seluruh ceritamu. Bagaimana aku bisa terkejut?"
"Laki-laki itu saya bunuh dengan racun. Istrinya saya bunuh dengan hunjaman pisau di dada. Sedangkan tiga anak mereka, yang dua saya benamkan ke bak mandi, dan yang seorang saya gantung. Ya Romo, saya gantung gadis kecil manis itu sampai lidahnya menjulur ke luar dan matanya membelalak menatap saya dengan pandangan tidak percaya. Dan Romo ingin tahu apa penyebabnya? Tidak ada alasan untuk pembunuhan ini. Benar-benar tidak ada alasan. Bahkan mengenal mereka pun saya tidak."
"Saya bunuh mereka sekeluarga karena saya tiba-tiba saja ingin menjadi pembunuh. Sudah banyak buku saya baca, sudah banyak film saya lihat, semuanya selalu menceritakan tentang pembunuh. Saya penasaran mengapa mereka mau menjadi pembunuh. Enakkah menjadi pembunuh? Itulah sebabnya saya memutuskan menjadi pembunuh, tetapi ternyata ...!"
Wanita itu tidak melanjutkan kalimatnya. Tetapi benar-benar sulit dipercaya cerita yang begitu menyeramkan meluncur ke luar dari mulut mungil seorang wanita. Dan bukan itu saja, cara pengucapannya yang begitu enteng, seperti sedang membicarakan mode pakaian saja, benar-benar luar biasa. Tidak ada ketegangan sama sekali, kecuali sedikit kebimbangan yang memang sejak pertama tadi terlihat.
"Ternyata tidak enak menjadi seorang pembunuh!" wanita itu melanjutkan. "Saya selalu tegang dan risau. Perasaan berdosa dan bersalah berbaur menjadi satu dengan bayang-bayang saya. Mereka selalu berada di belakang saya, mengikuti saya ke mana pun pergi dan ... yah, mereka terus-menerus mengingatkan saya akan kejadian itu. Berkali-kali saya mencoba berdamai dengan perasaan bersalah itu. Berkali-kali saya mencoba berdamai dengan perasaan berdosa itu. Tetapi saya selalu tidak berhasil romo. Itulah sebabnya, akhirnya saya memutuskan datang ke sini, meskipun saya bukan orang Kristen, apalagi Katolik."
Romo Paulus sama sekali tidak memperlihatkan perasaan hatinya. Wajah dan sinar matanya tetap dalam.
"Berilah saya petunjuk, romo!" kata Titis akhirnya. "Saya tidak tahan berada dalam keadaan begini terus-menerus!"
"Tidak ada orang yang pernah berhasil berdamai dengan dosanya!" kata romo Paulus. "Kesalahan dan dosa diciptakan untuk selalu bertolak belakang dengan hati nurani manusia. Sia-sia kalau engkau mencoba berdamai dengan dosa, anakku! Oh ya, bolehkan aku memanggil engkau dengan sebutan anakku?"
Titis mengangguk.
"Perdamaian dengan dosa adalah perbuatan sia-sia, anakku!" romo Paulus melanjutkan.
"Lalu saya harus bagaimana, romo?"
"Bertobat!"
"Bertobat? Saya tidak mengerti bagaimana cara bertobat, romo!"
"Untuk bertobat seseorang tidak membutuhkan cara, anakku! Tobat cuma membutuhkan niat. Lebih dari itu tidak ada. Tidak pernahkah engkau selama ini berniat untuk bertobat, untuk mengakui kesalahanmu dan kemudian mencoba melupakannya?"
"Saya telah mencoba melupakannya tetapi saya tidak berhasil, romo!"
Romo Paulus tersenyum.
"Kalau seseorang dengan mudah bisa melupakan dosa dan kesalahan mungkin di dunia ini tidak ada kerisauan, anakku! Makin engkau mencoba melupakan sebuah kesalahan, makin kesalahan itu tergambar jelas di depanmu!" Romo Paulus melanjutkan. "Tidak perlu mencoba melupakan atau menghilangkan kesalahan, anakku! Sungguh-sungguh tidak perlu!"
"Lalu ... lalu apa yang harus saya lakukan, romo? Saya sudah tidak tahan pada keadaan ini! Batas kemampuan saya untuk menahan ini semua sudah sampai pada batasnya! Mungkin saya akan ...!"
Romo Paulus mengangkat tangannya.
"Tidak usah engkau teruskan, anakku! Aku tahu apa yang engkau maksudkan. Kapan semua itu terjadi anakku?"
"Tiga belas tahun yang lalu, romo!" jawab Titis cepat.
"Tiga belas tahun yang lalu?" gumam Romo pelan, sepertinya cuma ditujukan pada dirinya. "Jadi sudah tiga belas tahun ini engkau tersiksa oleh rasa bersalahmu?"
Titis mengangguk.
Roma Paulus membuat tanda salib sambil menunduk dalam. Tiga belas tahun disiksa oleh perasaan berdosa bukan hal yang main-main. Wanita mana yang tahan selama tiga belas tahun bergulat dengan rasa bersalah?
"Kau selama ini pernah berdoa, anakku?" tanya romo Paulus tiba-tiba.
Titis terkejut. Rupanya dia tidak menduga akan mendapat pertanyaan semacam itu. Berdoa? Bagaimana dia bisa berdoa, kalau dia sama sekali tidak tahu harus ditujukan pada siapa doanya? Juga ... ah, baru sekarang Titis menyadari bahwa selama ini tidak seorang pun pernah mengajarinya berdoa!
Mata Titis yang resah membelalak lebar menatap romo Paulus. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan itu. Menggeleng? Betapa naifnya seorang insan manusia tidak pernah berdoa seumur hidupnya!
"Ketika aku berumur tujuh belas tahun," romo Paulus tiba-tiba berkata dengan suara pelan, "aku juga seorang pembunuh! Empat tahun aku mendekam dalam penjara sebelum akhirnya aku masuk ke seminari. Predikat pembunuh akan terus melekat meskipun seseorang menebusnya dengan hukuman. Begitu juga dengan aku, anakku! Predikat pembunuh bagiku akan tetap kusandang, bahkan sampai kelak ketika aku sudah dikuburkan."
Romo Paulus tersenyum sambil memandang jauh ke depan sana, membayangkan kembali apa yang pernah dialaminya dulu.
"Tetapi aku tak pernah lagi bimbang ataupun ragu akan pengabdianku yang sekarang. Kau boleh risau, kau boleh bimbang, tetapi yang telah terjadi tidak akan pernah bisa terhapus. Kau pernah menyaksikan orang-orang antri di ruang tunggu dokter, anakku?"
Alis Titis berkerut. Apa hubungan antara pembicaraan ini dengan orang antri di ruang tunggu dokter? Kalau dia berkata dirinya tidak bingung, maka jelas dirinya berbohong atau membohongi dirinya sendiri.
"Kalau mau memperhatikan orang-orang yang sedang antri menunggu giliran, kita akan tahu berbagai macam sikap mereka. Ada yang tidak sabar, ada yang tidak perduli, tetapi ada juga yang sibuk dengan kegiatan lain. Yang tidak sabar membuang-buang energinya untuk sesuatu yang tidak berguna. Yang tidak perduli memang tidak rugi apa-apa tetapi juga tidak mendapat manfaat sama sekali. Tetapi yang sibuk dengan kegiatan lain, seperti membaca umpamanya, bukan saja dia tidak dirugikan karena harus antri, tetapi malah mendapat manfaat dari sana. Begitu juga dengan hidup manusia, nak. Semua orang sedang antri. Antri untuk berpindah ke alam abadi. Nah, mengapa tidak kita isi penantian yang pasti membosankan kalau tidak diisi dengan suatu kegiatan ini dengan sesuatu yang berguna dan menyenangkan? Mengapa penantian ini harus diisi dengan kerisauan, dengan keresahan, dengan perasaan berdosa dan sebagainya?"
"Manusia sesuai dengan kodratnya memang tidak bisa menghilangkan itu semua, tetapi dengan kesadaran dan kemauannya dia pasti bisa mengubah banyak hal. Buang semua keresahanmu, buang semua rasa bersalahmu, dan tataplah matahari esok pagi yang pasti bersinar lebih cerah dibanding hari kemarin. Tersenyumlah menyambut kedatangannya. Ingatlah, kita semua sedang menanti, sedang menunggu giliran. Isilah masa-masa penantian ini dengan sesuatu yang menyenangkan. Isi masa-masa menunggu ini dengan sesuatu yang menggembirakan. Tataplah masa lalu dengan senyuman, juga masa yang akan datang. Jutaan manusia mungkin menyadari hal ini tetapi berapa banyak yang sanggup melakukannya? Yang sanggup tersenyum menatap hari kemarin, hari ini dan hari esok? Tidak banyak, anakku! Benar-benar tidak banyak! Cuma beberapa saja dari mereka sanggup menghadapi semua ini dengan hati lapang, hati ringan, hati pasrah. Engkau mau bergabung dengan beberapa orang yang tidak banyak itu, anakku?" tanya romo Paulus sambil mencondongkan tubuhnya ke depan.
Titis menatap laki-laki di depannya, laki-laki yang dia panggil dengan sebutan romo. Mata romo yang bening dan teduh perlahan-lahan berhasil mengusir kabut di hatinya.
"Kita tidak perlu berdamai dengan dosa tetapi juga tidak perlu berseteru dengannya. Dosa tidak pernah bisa terdamaikan dengan hati manusia. Tetapi juga jangan lupa kita tidak pernah menang melawan dosa. Biarkan dosa seperti apa adanya anakku. Biarkan dosa berjalan dan ada seperti dia ingin ada. Tetapi jangan biarkan hati kita tersesat olehnya. Kita harus tetap tegar menatapnya. Dan ....!"
Romo berhenti sejenak, mengusap keningnya yang entah sejak kapan dipenuhi bintik-bintik keringat kecil.
"Dan jangan sampai kita melakukannya lagi. Dosa yang dilakukan sudah cukup anakku. Tidak perlu ditambah lagi!"
"Tetapi aku membutuhkan pengampunan bagi itu semua, romo!" Titis akhirnya bisa berkata lagi.
"Tuhan Maha Pengampun. Tidak ada kesalahan yang tidak akan diampuni olehNya. Tidak ada dosa yang terlalu besar di hadapanNya. Tidak ada kesalahan terlalu berat bagi diriNya. Kau percaya ini, anakku?"
Titis mengangguk pelan.
"Anggukan kepalamu adalah jaminan akan semua ampunan dariNya! Dia telah mengampuni dirimu bersamaan dengan rasa percayamu bahwa Dia maha pengampun."
Romo Paulus tersenyum.
"Kau ingin berdoa sekarang, nak?" tanya romo Paulus kemudian.
Titis mengangguk.
"Tetapi aku tidak bisa berdoa, romo!" jawab Titis polos.
"Doa bisa dipelajari, anakku! Tetapi iman dan keyakinan tidak! Kau mau kuajari berdoa?"
Titis mengangguk. Romo Paulus tersenyum lebar. Titis pun ikut-ikutan tersenyum.
"Betapa bahagianya bisa membuat seseorang tersenyum!" gumam romo Paulus pelan. "Mari nak kuajari engkau berdoa!"
Sesaat kemudian dalam ruangan yang hening dan damai itu berkumandang doa. Doa sepasang insan yang sadar akan hakikat hidupnya.
Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Poznan, Poland (editing)
Kesalahan dan dosa masa lalu bak lukisan
Tak terhapuskan! Semakin keras usaha dilakukan
Untuk menghilangkan, semakin terang sang lukisan terpampang!
Karenanya betapa bahagianya mereka yang selalu ingat
Untuk tak melakukan dosa!
Di kamar pengakuan dosa sebuah gereja kecil.
"Romo," seorang wanita yang sudah tidak muda lagi terdengar berkata dari bilik pengakuan dosa, "saya datang ke sini bukan untuk bertobat, tetapi untuk bercerita! Saya tidak tahu kepada siapa saya bisa bercerita dengan aman. Itulah sebabnya saya datang ke sini! Saya pernah menyaksikan sebuah film yang inti ceritanya ingin menyampaikan bagaimana seorang pastur dengan gigih dan mati-matian mempertahankan rahasia seseorang yang diucapkan di kamar pengakuan dosa. Meskipun diancam dan hendak dibunuh sampai diakhir cerita pastur tersebut tetap mepertahankan rahasia. Jadi ...!"
"Nyonya tidak usah ...!"
"Jangan panggil saya nyonya, romo!" wanita itu memotong kata-kata romo. "Panggil saja dengan nama kecil saya. Titis!"
"Baiklah Titis!" kata romo itu tetap lembut dan sabar. "Apa yang engkau ucapkan di kamar ini, cuma aku dan Tuhan yang boleh tahu dan yang akan mendengarkan. Lain dari itu tidak ada! Oh ya, tadi engkau mengatakan kedatanganmu bukan untuk bertobat tetapi sekedar untuk menceritakan sesuatu? Itu tidak penting, Titis! Yang pertama-tama perlu kuberitahukan adalah keluarkan semua yang ada dalam hatimu. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Di depan Tuhan tak ada rahasia, Titis. Semuanya terbuka lebar!"
Wanita itu mengangguk pelan. Mengambil sapu tangan kecil berwarna kuning gading dari tasnya, mengusap muka perlahan dan menatap dinding kamar di depannya. Romo ada di balik dinding. Betapa inginnya ia berbincang-bincang tanpa dihalangi dinding.
"Titis, kau masih bimbang?" tanya romo lagi. Rupanya romo yang satu ini bisa merasakan ada sesuatu yang membuat wanita itu tidak cepat-cepat mengeluarkan isi hatinya. Titis mengangguk.
"Benar, romo!" katanya setelah mengangguk. Wanita itu tahu kalau anggukannya tidak akan terlihat oleh romo.
"Apa yang kau bimbangkan? Mungkin aku bisa membantumu!"
"Saya ...!"
"Kau tidak usah bimbang dan ragu. Kebimbangan tidak memecahkan masalah. Kebimbangan dan keragu-raguan cuma menciptakan masalah baru. Atasi rasa bimbang dan ragu-ragumu dan kau akan mendapatkan ketenangan!"
"Saya ingin berbicara di depan romo tanpa dibatasi dinding ini!"
"Oh ya? Tetapi tadi engkau ingin berbicara di kamar ini!"
"Saya takut sendirian, Romo. Saya ingin melihat seseorang berada di dekat saya ketika menceritakan hal ini!"
"Baiklah! Berbicara di mana saja sama saja di mata Tuhan. Yang penting bagi Dia adalah ketulusan dan kehendak baik. Lain dari itu bukan masalah bagiNya. Ayo bicara di kamar kerjaku!"
Romo membuka pintu dan dengan lembut menggandeng wanita yang sudah tidak muda itu. Romo Paulus sudah berumur lima puluh tiga tahun lebih. Beragam umat dengan berbagai macam persoalan pernah dihadapi. Persoalan seperti yang dialami wanita muda ini, ragu-ragu dan bimbang ketika akan mengungkapkan sebuah pengakuan, adalah hal yang paling sering dilihatnya.
"Melontarkan semua yang ada dalam hati pada seseorang, pasti akan meringankan beban!" kata romo dalam perjalanan ke ruang kerjanya. "Percayalah padaku, Titis!"
Titis mengangguk sambil berkali-kali menarik nafas panjang.
"Ayo duduk!" kata romo Paulus lembut menyilahkan Titis ketika mereka berada di ruang kerja romo Paulus. Titis duduk. Romo Paulus juga duduk.
Senyum romo Paulus yang lembut perlahan-lahan mengusir kebimbangan di hati wanita itu.
"Engkau boleh mulai bercerita!" kata romo Paulus.
"Baik romo!" kata Titis. "Romo sudah tahu nama lengkap saya, di mana saya tinggal dan bagaimana kehidupan saya selama ini?"
Romo Paulus menggeleng.
"Kalau engkau mau menceritakan padaku aku akan mendengarkan. Tetapi kalau engkau keberatan bagiku tidak ada masalah. Yang penting, adalah persoalanmu. Bagiku tidak penting latar belakang dan keadaan dirimu tetapi persoalan yang selama ini merisaukan dirimulah yang penting bagiku."
"Saya pembunuh, Romo!" kata Titis tiba-tiba. "Dan bukan cuma seorang yang saya bunuh tetapi sekeluarga. Bapak, ibu dan tiga anaknya!"
Ada sinar terkejut di mata Romo Paulus tetapi cuma sekejab. Sinar itu segera hilang. Mata romo Paulus kembali berubah tenang, setenang telaga.
"Romo tidak terkejut?" Titis bertanya heran melihat romo Paulus sama sekali tidak terkejut dengan pengakuannya yang tiba-tiba.
Romo Paulus menggeleng.
"Aku tidak terkejut," kata romo Paulus. "Aku belum mendengar seluruh ceritamu. Bagaimana aku bisa terkejut?"
"Laki-laki itu saya bunuh dengan racun. Istrinya saya bunuh dengan hunjaman pisau di dada. Sedangkan tiga anak mereka, yang dua saya benamkan ke bak mandi, dan yang seorang saya gantung. Ya Romo, saya gantung gadis kecil manis itu sampai lidahnya menjulur ke luar dan matanya membelalak menatap saya dengan pandangan tidak percaya. Dan Romo ingin tahu apa penyebabnya? Tidak ada alasan untuk pembunuhan ini. Benar-benar tidak ada alasan. Bahkan mengenal mereka pun saya tidak."
"Saya bunuh mereka sekeluarga karena saya tiba-tiba saja ingin menjadi pembunuh. Sudah banyak buku saya baca, sudah banyak film saya lihat, semuanya selalu menceritakan tentang pembunuh. Saya penasaran mengapa mereka mau menjadi pembunuh. Enakkah menjadi pembunuh? Itulah sebabnya saya memutuskan menjadi pembunuh, tetapi ternyata ...!"
Wanita itu tidak melanjutkan kalimatnya. Tetapi benar-benar sulit dipercaya cerita yang begitu menyeramkan meluncur ke luar dari mulut mungil seorang wanita. Dan bukan itu saja, cara pengucapannya yang begitu enteng, seperti sedang membicarakan mode pakaian saja, benar-benar luar biasa. Tidak ada ketegangan sama sekali, kecuali sedikit kebimbangan yang memang sejak pertama tadi terlihat.
"Ternyata tidak enak menjadi seorang pembunuh!" wanita itu melanjutkan. "Saya selalu tegang dan risau. Perasaan berdosa dan bersalah berbaur menjadi satu dengan bayang-bayang saya. Mereka selalu berada di belakang saya, mengikuti saya ke mana pun pergi dan ... yah, mereka terus-menerus mengingatkan saya akan kejadian itu. Berkali-kali saya mencoba berdamai dengan perasaan bersalah itu. Berkali-kali saya mencoba berdamai dengan perasaan berdosa itu. Tetapi saya selalu tidak berhasil romo. Itulah sebabnya, akhirnya saya memutuskan datang ke sini, meskipun saya bukan orang Kristen, apalagi Katolik."
Romo Paulus sama sekali tidak memperlihatkan perasaan hatinya. Wajah dan sinar matanya tetap dalam.
"Berilah saya petunjuk, romo!" kata Titis akhirnya. "Saya tidak tahan berada dalam keadaan begini terus-menerus!"
"Tidak ada orang yang pernah berhasil berdamai dengan dosanya!" kata romo Paulus. "Kesalahan dan dosa diciptakan untuk selalu bertolak belakang dengan hati nurani manusia. Sia-sia kalau engkau mencoba berdamai dengan dosa, anakku! Oh ya, bolehkan aku memanggil engkau dengan sebutan anakku?"
Titis mengangguk.
"Perdamaian dengan dosa adalah perbuatan sia-sia, anakku!" romo Paulus melanjutkan.
"Lalu saya harus bagaimana, romo?"
"Bertobat!"
"Bertobat? Saya tidak mengerti bagaimana cara bertobat, romo!"
"Untuk bertobat seseorang tidak membutuhkan cara, anakku! Tobat cuma membutuhkan niat. Lebih dari itu tidak ada. Tidak pernahkah engkau selama ini berniat untuk bertobat, untuk mengakui kesalahanmu dan kemudian mencoba melupakannya?"
"Saya telah mencoba melupakannya tetapi saya tidak berhasil, romo!"
Romo Paulus tersenyum.
"Kalau seseorang dengan mudah bisa melupakan dosa dan kesalahan mungkin di dunia ini tidak ada kerisauan, anakku! Makin engkau mencoba melupakan sebuah kesalahan, makin kesalahan itu tergambar jelas di depanmu!" Romo Paulus melanjutkan. "Tidak perlu mencoba melupakan atau menghilangkan kesalahan, anakku! Sungguh-sungguh tidak perlu!"
"Lalu ... lalu apa yang harus saya lakukan, romo? Saya sudah tidak tahan pada keadaan ini! Batas kemampuan saya untuk menahan ini semua sudah sampai pada batasnya! Mungkin saya akan ...!"
Romo Paulus mengangkat tangannya.
"Tidak usah engkau teruskan, anakku! Aku tahu apa yang engkau maksudkan. Kapan semua itu terjadi anakku?"
"Tiga belas tahun yang lalu, romo!" jawab Titis cepat.
"Tiga belas tahun yang lalu?" gumam Romo pelan, sepertinya cuma ditujukan pada dirinya. "Jadi sudah tiga belas tahun ini engkau tersiksa oleh rasa bersalahmu?"
Titis mengangguk.
Roma Paulus membuat tanda salib sambil menunduk dalam. Tiga belas tahun disiksa oleh perasaan berdosa bukan hal yang main-main. Wanita mana yang tahan selama tiga belas tahun bergulat dengan rasa bersalah?
"Kau selama ini pernah berdoa, anakku?" tanya romo Paulus tiba-tiba.
Titis terkejut. Rupanya dia tidak menduga akan mendapat pertanyaan semacam itu. Berdoa? Bagaimana dia bisa berdoa, kalau dia sama sekali tidak tahu harus ditujukan pada siapa doanya? Juga ... ah, baru sekarang Titis menyadari bahwa selama ini tidak seorang pun pernah mengajarinya berdoa!
Mata Titis yang resah membelalak lebar menatap romo Paulus. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan itu. Menggeleng? Betapa naifnya seorang insan manusia tidak pernah berdoa seumur hidupnya!
"Ketika aku berumur tujuh belas tahun," romo Paulus tiba-tiba berkata dengan suara pelan, "aku juga seorang pembunuh! Empat tahun aku mendekam dalam penjara sebelum akhirnya aku masuk ke seminari. Predikat pembunuh akan terus melekat meskipun seseorang menebusnya dengan hukuman. Begitu juga dengan aku, anakku! Predikat pembunuh bagiku akan tetap kusandang, bahkan sampai kelak ketika aku sudah dikuburkan."
Romo Paulus tersenyum sambil memandang jauh ke depan sana, membayangkan kembali apa yang pernah dialaminya dulu.
"Tetapi aku tak pernah lagi bimbang ataupun ragu akan pengabdianku yang sekarang. Kau boleh risau, kau boleh bimbang, tetapi yang telah terjadi tidak akan pernah bisa terhapus. Kau pernah menyaksikan orang-orang antri di ruang tunggu dokter, anakku?"
Alis Titis berkerut. Apa hubungan antara pembicaraan ini dengan orang antri di ruang tunggu dokter? Kalau dia berkata dirinya tidak bingung, maka jelas dirinya berbohong atau membohongi dirinya sendiri.
"Kalau mau memperhatikan orang-orang yang sedang antri menunggu giliran, kita akan tahu berbagai macam sikap mereka. Ada yang tidak sabar, ada yang tidak perduli, tetapi ada juga yang sibuk dengan kegiatan lain. Yang tidak sabar membuang-buang energinya untuk sesuatu yang tidak berguna. Yang tidak perduli memang tidak rugi apa-apa tetapi juga tidak mendapat manfaat sama sekali. Tetapi yang sibuk dengan kegiatan lain, seperti membaca umpamanya, bukan saja dia tidak dirugikan karena harus antri, tetapi malah mendapat manfaat dari sana. Begitu juga dengan hidup manusia, nak. Semua orang sedang antri. Antri untuk berpindah ke alam abadi. Nah, mengapa tidak kita isi penantian yang pasti membosankan kalau tidak diisi dengan suatu kegiatan ini dengan sesuatu yang berguna dan menyenangkan? Mengapa penantian ini harus diisi dengan kerisauan, dengan keresahan, dengan perasaan berdosa dan sebagainya?"
"Manusia sesuai dengan kodratnya memang tidak bisa menghilangkan itu semua, tetapi dengan kesadaran dan kemauannya dia pasti bisa mengubah banyak hal. Buang semua keresahanmu, buang semua rasa bersalahmu, dan tataplah matahari esok pagi yang pasti bersinar lebih cerah dibanding hari kemarin. Tersenyumlah menyambut kedatangannya. Ingatlah, kita semua sedang menanti, sedang menunggu giliran. Isilah masa-masa penantian ini dengan sesuatu yang menyenangkan. Isi masa-masa menunggu ini dengan sesuatu yang menggembirakan. Tataplah masa lalu dengan senyuman, juga masa yang akan datang. Jutaan manusia mungkin menyadari hal ini tetapi berapa banyak yang sanggup melakukannya? Yang sanggup tersenyum menatap hari kemarin, hari ini dan hari esok? Tidak banyak, anakku! Benar-benar tidak banyak! Cuma beberapa saja dari mereka sanggup menghadapi semua ini dengan hati lapang, hati ringan, hati pasrah. Engkau mau bergabung dengan beberapa orang yang tidak banyak itu, anakku?" tanya romo Paulus sambil mencondongkan tubuhnya ke depan.
Titis menatap laki-laki di depannya, laki-laki yang dia panggil dengan sebutan romo. Mata romo yang bening dan teduh perlahan-lahan berhasil mengusir kabut di hatinya.
"Kita tidak perlu berdamai dengan dosa tetapi juga tidak perlu berseteru dengannya. Dosa tidak pernah bisa terdamaikan dengan hati manusia. Tetapi juga jangan lupa kita tidak pernah menang melawan dosa. Biarkan dosa seperti apa adanya anakku. Biarkan dosa berjalan dan ada seperti dia ingin ada. Tetapi jangan biarkan hati kita tersesat olehnya. Kita harus tetap tegar menatapnya. Dan ....!"
Romo berhenti sejenak, mengusap keningnya yang entah sejak kapan dipenuhi bintik-bintik keringat kecil.
"Dan jangan sampai kita melakukannya lagi. Dosa yang dilakukan sudah cukup anakku. Tidak perlu ditambah lagi!"
"Tetapi aku membutuhkan pengampunan bagi itu semua, romo!" Titis akhirnya bisa berkata lagi.
"Tuhan Maha Pengampun. Tidak ada kesalahan yang tidak akan diampuni olehNya. Tidak ada dosa yang terlalu besar di hadapanNya. Tidak ada kesalahan terlalu berat bagi diriNya. Kau percaya ini, anakku?"
Titis mengangguk pelan.
"Anggukan kepalamu adalah jaminan akan semua ampunan dariNya! Dia telah mengampuni dirimu bersamaan dengan rasa percayamu bahwa Dia maha pengampun."
Romo Paulus tersenyum.
"Kau ingin berdoa sekarang, nak?" tanya romo Paulus kemudian.
Titis mengangguk.
"Tetapi aku tidak bisa berdoa, romo!" jawab Titis polos.
"Doa bisa dipelajari, anakku! Tetapi iman dan keyakinan tidak! Kau mau kuajari berdoa?"
Titis mengangguk. Romo Paulus tersenyum lebar. Titis pun ikut-ikutan tersenyum.
"Betapa bahagianya bisa membuat seseorang tersenyum!" gumam romo Paulus pelan. "Mari nak kuajari engkau berdoa!"
Sesaat kemudian dalam ruangan yang hening dan damai itu berkumandang doa. Doa sepasang insan yang sadar akan hakikat hidupnya.
Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Poznan, Poland (editing)
tribudhis 15 Apr, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar