Monas Akhirnya Angkat Maklumat ...
Wah kalau terus-terusan begini tentu saja aku harus angkat bicara.
Monas yang wajahnya ikut kelam karena langit di seantero Jakarta
Kelam juga sore itu, bukan saja karena hujan turun tak henti-hentinya
Tetapi juga karena berita tentang dirinya terus menerus mengangkasa
Dan sekarang sudah jauh melebihi tinggi dirinya, yang selama ini tak ada
Tandingannya, atau paling tidak dia merasa belum ada tandingannya.
Tinggi boleh ada yang melebihi tetapi yang mempunyai kisah luar biasa
Seperrti yang tersulam di seantero tulang sumsum dan raga, mana ada.
Hanya aku, Monas, simbol megapolitan Jakarta dan republik Indonesia,
Yang punya, dan yang boleh punya, yang lain ... maaf ... harus legawa.
Karenanya aku harus angkat bicara, ya angkat bicara pada mereka semua
Bagaimana aku bisa direndahkan begitu saja, sepertinya aliran raga sukma
Dalam tulang-tulangku yang merah membara atau yang putih silaukan mata,
Tak lagi ada artinya, hai ... ini pancaran salah satu simbol perjuangan bangsa.
Jangan rendahkan aku ... jangan hina aku ... jangan turunkan martabat utama.
Merah dan putih sumsumku, gelora merdeka gejolak pancaran tirai kencana,
Akulah mercu penanda ini negara dan tak akan kubiarkan siapa pun menghina.
Mega-mega pekat yang berarak di ibu kota terpaksa berhenti sejenak serta ...
Setelah puas saling berbisik antar mereka ... akhirnya bertanya juga pada
Sang pagoda tanpa langkan yang menjulang marah penuh angkara duka.
Hai ada apa wahai sahabat pujaan bangsa, mengapa kulihat duka angkara
Memancar dari kilauan logam tiara mulia sehingga kami para kelana angkasa
Menjadi tak nyaman juga? Bukankah selama ini engkau biasanya ria gembira
Melihat hiruk pikuk warga Jakarta yang walau hanya melintas tetapi tetap saja
Menatap bangga seakan-akan engkau baru saja tegak menjulang ke angkasa?
Kerling mata paduan antara angkara dan duka berkelebat melintas bak Konta
Yang kesaktiannya tak tertandingi bahkan oleh sang perwira muda Gatotkaca.
Aku terluka, aku terhina, aku marah luar biasa, coba kalian bayangkan saya,
Ada cecunguk rendah hina yang pintarnya hanya berdusta eh ... tiba-tiba saja
Menyebut aku punya nama mulia sebagai tempat pengikat tali gantungannya?
Bah ... sejak kapan aku yang selalu mendapat kehormatan mulia jadi penjaga
Ini negara perkasa nan mulia tiba-tiba saja diturunkan derajat dan pangkatnya
Menjadi hanya tali gantungan penjahat hina yang tak berani akui perbuatannya?
Mega-mega terperanjat, berita memang telah didengar walau hanya lamat-lamat,
Tetapi kalau ini akibat hampir saja membuat sang perkasa melaknat itu pejabat,
Benar-benar di luar format, bahkan rasa-rasanya seperti dunia hendak kiamat.
Marah yang memancar benar-benar hebat kelewat-lewat, mega pun tidak kuat
Berlama-lama mendekat ... wah, kalau itu aku sih tidak tahu ... enggan berdebat,
Begitu jelas terlihat ... jangan turunkan aku punya martabat, kalau mau kendat,
Ya cari saja pohon yang hidupnya sudah tersendat-sendat, bah ... dasar keparat,
Mau cari sensasi ya sensasi tetapi jangan turunkan aku punya harkat martabat.
Mega-mega sudah hendak pamit berangkat tetapi satu ide datang berkelebat.
Bagaimana kalau seandainya sempat, aku mampir ke sebuah rumah bertingkat,
Lokasinya nun jauh di pinggiran perumahan pejabat, sudah lama tidak dirawat,
Siapa tahu dia tak merasa berat jika nanti digunakan orang ini untuk mengikat
Lehernya kuat-kuat karena dustanya yang hebat tidak lagi terpendam erat-erat.
Boleh saja yang penting tidak ada lagi pencemaran harkat dan martaba dibuat.
Mega-mega tersenyum lega sebelum kembali berangkat, karena kata sepakat
Akhirnya bisa juga dibuat ... kalau murka kelewat-lewat, wah semua bisa gawat,
Bisik mereka lirih, entah untuk siapa tak jelas alamat, dan setibanya di dekat
Gedung bertingkat, niat diangkat, dan gedung tak terawat marah tak kalah hebat.
Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Poznan, Poland
Wah kalau terus-terusan begini tentu saja aku harus angkat bicara.
Monas yang wajahnya ikut kelam karena langit di seantero Jakarta
Kelam juga sore itu, bukan saja karena hujan turun tak henti-hentinya
Tetapi juga karena berita tentang dirinya terus menerus mengangkasa
Dan sekarang sudah jauh melebihi tinggi dirinya, yang selama ini tak ada
Tandingannya, atau paling tidak dia merasa belum ada tandingannya.
Tinggi boleh ada yang melebihi tetapi yang mempunyai kisah luar biasa
Seperrti yang tersulam di seantero tulang sumsum dan raga, mana ada.
Hanya aku, Monas, simbol megapolitan Jakarta dan republik Indonesia,
Yang punya, dan yang boleh punya, yang lain ... maaf ... harus legawa.
Karenanya aku harus angkat bicara, ya angkat bicara pada mereka semua
Bagaimana aku bisa direndahkan begitu saja, sepertinya aliran raga sukma
Dalam tulang-tulangku yang merah membara atau yang putih silaukan mata,
Tak lagi ada artinya, hai ... ini pancaran salah satu simbol perjuangan bangsa.
Jangan rendahkan aku ... jangan hina aku ... jangan turunkan martabat utama.
Merah dan putih sumsumku, gelora merdeka gejolak pancaran tirai kencana,
Akulah mercu penanda ini negara dan tak akan kubiarkan siapa pun menghina.
Mega-mega pekat yang berarak di ibu kota terpaksa berhenti sejenak serta ...
Setelah puas saling berbisik antar mereka ... akhirnya bertanya juga pada
Sang pagoda tanpa langkan yang menjulang marah penuh angkara duka.
Hai ada apa wahai sahabat pujaan bangsa, mengapa kulihat duka angkara
Memancar dari kilauan logam tiara mulia sehingga kami para kelana angkasa
Menjadi tak nyaman juga? Bukankah selama ini engkau biasanya ria gembira
Melihat hiruk pikuk warga Jakarta yang walau hanya melintas tetapi tetap saja
Menatap bangga seakan-akan engkau baru saja tegak menjulang ke angkasa?
Kerling mata paduan antara angkara dan duka berkelebat melintas bak Konta
Yang kesaktiannya tak tertandingi bahkan oleh sang perwira muda Gatotkaca.
Aku terluka, aku terhina, aku marah luar biasa, coba kalian bayangkan saya,
Ada cecunguk rendah hina yang pintarnya hanya berdusta eh ... tiba-tiba saja
Menyebut aku punya nama mulia sebagai tempat pengikat tali gantungannya?
Bah ... sejak kapan aku yang selalu mendapat kehormatan mulia jadi penjaga
Ini negara perkasa nan mulia tiba-tiba saja diturunkan derajat dan pangkatnya
Menjadi hanya tali gantungan penjahat hina yang tak berani akui perbuatannya?
Mega-mega terperanjat, berita memang telah didengar walau hanya lamat-lamat,
Tetapi kalau ini akibat hampir saja membuat sang perkasa melaknat itu pejabat,
Benar-benar di luar format, bahkan rasa-rasanya seperti dunia hendak kiamat.
Marah yang memancar benar-benar hebat kelewat-lewat, mega pun tidak kuat
Berlama-lama mendekat ... wah, kalau itu aku sih tidak tahu ... enggan berdebat,
Begitu jelas terlihat ... jangan turunkan aku punya martabat, kalau mau kendat,
Ya cari saja pohon yang hidupnya sudah tersendat-sendat, bah ... dasar keparat,
Mau cari sensasi ya sensasi tetapi jangan turunkan aku punya harkat martabat.
Mega-mega sudah hendak pamit berangkat tetapi satu ide datang berkelebat.
Bagaimana kalau seandainya sempat, aku mampir ke sebuah rumah bertingkat,
Lokasinya nun jauh di pinggiran perumahan pejabat, sudah lama tidak dirawat,
Siapa tahu dia tak merasa berat jika nanti digunakan orang ini untuk mengikat
Lehernya kuat-kuat karena dustanya yang hebat tidak lagi terpendam erat-erat.
Boleh saja yang penting tidak ada lagi pencemaran harkat dan martaba dibuat.
Mega-mega tersenyum lega sebelum kembali berangkat, karena kata sepakat
Akhirnya bisa juga dibuat ... kalau murka kelewat-lewat, wah semua bisa gawat,
Bisik mereka lirih, entah untuk siapa tak jelas alamat, dan setibanya di dekat
Gedung bertingkat, niat diangkat, dan gedung tak terawat marah tak kalah hebat.
Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Poznan, Poland
tribudhis 12 Mar, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar