Ketika BBM Naik, Panik Muncul di Belakang Istana
Isu kudeta selalu muncul ketika pemerintah ingin menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Sekadar rekayasa pengalihan isu atau memang kepanikan dan paranoid yang terjadi di Istana.
DI akhir Desember 2009, pernyataan dan sikap Presiden Yudhoyono beberapa hari terakhir kerap mengesankan munculnya kepanikan. Meski sudah dua periode duduk sebagai presiden. Tabiat gampang panik dan gundah ternyata masih terus melekat dalam diri SBY.
Pengalaman satu periode sebelumnya bersama Wapres Jusuf Kalla ternyata tidak banyak memberikan banyak pelajaran. Terutama dalam menghadapi tekanan publik yang hubungannya dengan keputusan mengambil kebijakan.
Sumber Monitor Indonesia menceritakan, dulu saat demo kenaikan harga BBM sedang marak menuai aksi demonstrasi dari berbagai kalangan, SBY kerap merasa ketakutan, panik dan gundah. Saat itu, hampir setiap hari istana presiden disambangi oleh para demonstran.
"Jika sudah seperti itu, biasanya SBY menelpon JK (Jusuf Kalla, red) malammalam. Untuk sekadar curhat (curahan hati, red) banyak aksi demonstrasi membuat ia tidak bisa tidur nyenyak,'' ujar sumber yang pernah menjabat sebagai menteri pada pemerintahan Gus Dur dan Megawati itu.
Saking takutnya, kata sumber, SBY pernah melarang penggunan pengeras suara untuk demo di lingkungan istana. "Sebetulnya, itu wujud ketakutan dan kegelisahan SBY," ujarnya.
Bahkan, pada saat terjadi insiden penembakan terhadap Mantan Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto (27/12/07). SBY semakin panik sampai-sampai level pengamanan presiden ditingkatkan. Dikatakan sumber, SBY sempat merasa ketakutan dengan tragedi yang terjadi di Pakistan tersebut. Dalam curhatnya kepada JK, lanjut sumber, SBY mengatakan, kalau kondisi di Pakistan bisa saja terjadi di Indonesia.
"Saya tidak habis pikir kok sampai begitu. Kayak belum pernah jadi pejabat publik saja. Untungnya JK mau dan berani menjadi bumper," ujar sumber yang sebelumnya pernah sangat dekat dengan SBY tersebut. Kondisi tersebut sepertinya terulang kembali ketika kasus KPK dan skandal Bank Century makin panas.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok mengatakan, SBY bukanlah sosok pribadi yang bisa menyembunyikan kondisi hatinya. Berbeda dengan Soeharto yang masih bisa tersenyum terhadap lawan-lawanya.
"SBY itu, tipikal presiden yang apa ada dihatinya, itu muncul di mukanya. Karena SBY tipikal pemimpin yang tidak suka dengan sandiwara," ujarnya kepada Indonesia Monitor.
Kalau, lanjutnya, saat ini SBY sedang banyak diserang, itu wajar. Karena semakin tinggi pohon maka semakin besar pula angin yang menerpanya. Jadi kalaupun presiden merasa, gerah, marah dan gundah itu wajar dan manusiawi. "Yang jelas dia melakukan apa yang di yakininya benar," ujarnya.
Pernyataan dan sikap SBY yang terlihat panik tersebut dua kali mendapat kritikan pedas dari mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif.
Entah geram atau hanya sekedar mengingatkan, Buya—sapaan akrab Syafii Maarif—yang notabene jarang berbicara keras pada publik akhirnya harus angkat suara ketika menyikapi masalah dua pimpinan KPK nonaktif yang tak berujung, satu bulan yang lalu. Ia meminta Presiden SBY segera menunjukan jiwa kepemimpinannya.
"Ini kesempatan baik bagi SBY untuk menunjukan kepemimpinan, jika dia punya kepemimpinan," sindir Syafii di kantor PP Muhammadiyah.
Menurut Syafii, SBY seharusnya lebih percaya diri dalam menentukan sikapnya dengan dukungan rakyat. Namun yang terjadi, tambah Syafii, justru sebaliknya. "Dia dipilih kemudian dia ditentang karena tidak ada ketegasan, jangan sampai terjadi konflik sosial," pesan Syafii.
Yang kedua, tokoh Muhammadiyah itu kembali menegur SBY terkait dengan sikap panik SBY terhadap aksi peringatan Hari Anti Korupsi (9/12). "Jangan paniklah. Seorang pemimpin tidak boleh panik," bebernya.
Menurutnya, buat apa harus panik, toh aksi peringatan hari antikorupsi sedunia pada 9 Desember itu tidak memiliki motif lain, apalagi pemakzulan alias pelengseran Presiden.
"Ndak-lah. Kita belum ke arah sana (pemakzulan)," ujarnya. Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi (Kompak) Fadjroel Rachmanpun, tidak habis pikir, kalau SBY merasa ketakutan dengan aksi tersebut. "SBY kok paranoid sekali sih," katanya.
Buntutnya, ketakutan SBY terhadap aksi demonstrasi antikorupsi menjadi kenyataan (9/12). Saat ribuan orang menduduki depan Istana Presiden untuk menggelar aksi damai tersebut. Usai membuka Workshop Nasional Revitalisasi Industri Pertahanan, tidak seperti biasanya, SBY meninggalkan Istana Presiden melalui pintu belakang, bertolak ke Bali.
Berdasarkan pantauan Indonesia Monitor di lapangan saat itu, SBY memilih melalui pintu Istana Negara yang tembus ke Jalan Juanda. Belum ada pernyataan resmi atas pengalihan jalur tersebut. Hal tersebut dilakukan SBY karena harus bertolak ke Bali untuk menghadiri untuk menghadiri agenda Bali Democracy Forum. Namun aksi Presiden menghindari demonstran disesalkan para pendemo.
"Itu sangat kita sesalkan. Sebaiknya Presiden hadir dan temui kita di sini untuk ikut hari antikorupsi," kata Koordinator Humanika Jakarta, Sugeng Riadi di sela-sela aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka.
Dengan lewat pintu belakang, lanjut Sugeng, ia mempertanyakan komitmen Presiden untuk berantas korupsi."Kita pertanyakan komitmennya," tegasnya.
Sementara pengamat politik LIPI Siti Zuhro, menilai rasa gundah dan kepanikan SBY muncul karena dirinya mengamini tafsir pemakzulan yang seakan-akan bisa sangat cepat terjadi. Apalagi, mulai muncul tuntutan untuk menonaktifkan Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
"Jika pengusutan panitia hak angket Century itu berakhir tuntas, bisa jadi agenda para inisiator angket Century tidak hanya akan berhenti pada kejelasan aliran dana, tetapi juga kesalahan kebijakan yang dibuat Boediono (Gubernur BI, red) dan Menkeu," jelasnya.
Apalagi, lanjutnya, jika para oposisi di parlemen terkonsolidasi secara kuat, impeachement (pemakzulan) terhadap wakil presiden dapat saja terjadi. Apabila kondisi itu terjadi, Indonesia yang pertama mengalami hal yang baru sama sekali.
"Sejarah impeachment atas Presiden Abdurrahman Wahid mungkin saja dapat terulang. Bedanya, hal itu tidak terjadi pada diri presiden, tetapi wakil presiden," jelasnya.
Masalahnya, jika yang dimakzulkan adalah wakil presiden, bagaimana mekanisme dan tata cara penggantiannya? Jika pencalonannya satu paket, apakah berarti paket tersebut secara otomatis dimakzulkan? Sayang, persoalan tersebut tidak diatur oleh UUD Negara RI Tahun 1945.
"Wajar saja kalau SBY cemas, karena ini akan menjadi sejarah buruk dalam tata pemerintahan Indonesia. Namun, akan lebih elegan jika presiden bisa menyikapinya dengan tenang dan sesuai porsinya," jelasnya.
TRI
Ketika BBM Naik, Panik Muncul di Belakang Istana
benarkan istana panik?
yaaa teranglah panik...
dari sisi kepartaian, demoncrot sudah moncrot2 menghadapi tekanan dan koruptor di tubuh mereka..
dari sisi kenegaraan, tiada keberhasilan yang bisa bisa diangkat
dari sisi kemasyarakatan, java jazz gagal menjadi "pelangi dimatamu"
mau lari kemana?
menggunakan teroris sebagai pengalih?
aah sudah basi..
walaupun para teroris dijatuhi hukuman, media tidak berpaling dari istana
menggunakan apa lagi yaa?
bom?
aaahhh sudah pernah tuh..
menggunakan apa lagi yaa?
sasaran tembak?
yaaaa juga udah pernah....
plak plak plak...
kudeta !!!!!!
ini tema yang baru dan benar2 kena...
sekarang dicarilah siapa yang cocok dijadikan target..
eh ada wiranto...
mantap dah...
(*kenapa gak prabowo yaa?
mari kita gunakan panic button !
Isu kudeta selalu muncul ketika pemerintah ingin menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Sekadar rekayasa pengalihan isu atau memang kepanikan dan paranoid yang terjadi di Istana.
DI akhir Desember 2009, pernyataan dan sikap Presiden Yudhoyono beberapa hari terakhir kerap mengesankan munculnya kepanikan. Meski sudah dua periode duduk sebagai presiden. Tabiat gampang panik dan gundah ternyata masih terus melekat dalam diri SBY.
Pengalaman satu periode sebelumnya bersama Wapres Jusuf Kalla ternyata tidak banyak memberikan banyak pelajaran. Terutama dalam menghadapi tekanan publik yang hubungannya dengan keputusan mengambil kebijakan.
Sumber Monitor Indonesia menceritakan, dulu saat demo kenaikan harga BBM sedang marak menuai aksi demonstrasi dari berbagai kalangan, SBY kerap merasa ketakutan, panik dan gundah. Saat itu, hampir setiap hari istana presiden disambangi oleh para demonstran.
"Jika sudah seperti itu, biasanya SBY menelpon JK (Jusuf Kalla, red) malammalam. Untuk sekadar curhat (curahan hati, red) banyak aksi demonstrasi membuat ia tidak bisa tidur nyenyak,'' ujar sumber yang pernah menjabat sebagai menteri pada pemerintahan Gus Dur dan Megawati itu.
Saking takutnya, kata sumber, SBY pernah melarang penggunan pengeras suara untuk demo di lingkungan istana. "Sebetulnya, itu wujud ketakutan dan kegelisahan SBY," ujarnya.
Bahkan, pada saat terjadi insiden penembakan terhadap Mantan Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto (27/12/07). SBY semakin panik sampai-sampai level pengamanan presiden ditingkatkan. Dikatakan sumber, SBY sempat merasa ketakutan dengan tragedi yang terjadi di Pakistan tersebut. Dalam curhatnya kepada JK, lanjut sumber, SBY mengatakan, kalau kondisi di Pakistan bisa saja terjadi di Indonesia.
"Saya tidak habis pikir kok sampai begitu. Kayak belum pernah jadi pejabat publik saja. Untungnya JK mau dan berani menjadi bumper," ujar sumber yang sebelumnya pernah sangat dekat dengan SBY tersebut. Kondisi tersebut sepertinya terulang kembali ketika kasus KPK dan skandal Bank Century makin panas.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok mengatakan, SBY bukanlah sosok pribadi yang bisa menyembunyikan kondisi hatinya. Berbeda dengan Soeharto yang masih bisa tersenyum terhadap lawan-lawanya.
"SBY itu, tipikal presiden yang apa ada dihatinya, itu muncul di mukanya. Karena SBY tipikal pemimpin yang tidak suka dengan sandiwara," ujarnya kepada Indonesia Monitor.
Kalau, lanjutnya, saat ini SBY sedang banyak diserang, itu wajar. Karena semakin tinggi pohon maka semakin besar pula angin yang menerpanya. Jadi kalaupun presiden merasa, gerah, marah dan gundah itu wajar dan manusiawi. "Yang jelas dia melakukan apa yang di yakininya benar," ujarnya.
Pernyataan dan sikap SBY yang terlihat panik tersebut dua kali mendapat kritikan pedas dari mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif.
Entah geram atau hanya sekedar mengingatkan, Buya—sapaan akrab Syafii Maarif—yang notabene jarang berbicara keras pada publik akhirnya harus angkat suara ketika menyikapi masalah dua pimpinan KPK nonaktif yang tak berujung, satu bulan yang lalu. Ia meminta Presiden SBY segera menunjukan jiwa kepemimpinannya.
"Ini kesempatan baik bagi SBY untuk menunjukan kepemimpinan, jika dia punya kepemimpinan," sindir Syafii di kantor PP Muhammadiyah.
Menurut Syafii, SBY seharusnya lebih percaya diri dalam menentukan sikapnya dengan dukungan rakyat. Namun yang terjadi, tambah Syafii, justru sebaliknya. "Dia dipilih kemudian dia ditentang karena tidak ada ketegasan, jangan sampai terjadi konflik sosial," pesan Syafii.
Yang kedua, tokoh Muhammadiyah itu kembali menegur SBY terkait dengan sikap panik SBY terhadap aksi peringatan Hari Anti Korupsi (9/12). "Jangan paniklah. Seorang pemimpin tidak boleh panik," bebernya.
Menurutnya, buat apa harus panik, toh aksi peringatan hari antikorupsi sedunia pada 9 Desember itu tidak memiliki motif lain, apalagi pemakzulan alias pelengseran Presiden.
"Ndak-lah. Kita belum ke arah sana (pemakzulan)," ujarnya. Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi (Kompak) Fadjroel Rachmanpun, tidak habis pikir, kalau SBY merasa ketakutan dengan aksi tersebut. "SBY kok paranoid sekali sih," katanya.
Buntutnya, ketakutan SBY terhadap aksi demonstrasi antikorupsi menjadi kenyataan (9/12). Saat ribuan orang menduduki depan Istana Presiden untuk menggelar aksi damai tersebut. Usai membuka Workshop Nasional Revitalisasi Industri Pertahanan, tidak seperti biasanya, SBY meninggalkan Istana Presiden melalui pintu belakang, bertolak ke Bali.
Berdasarkan pantauan Indonesia Monitor di lapangan saat itu, SBY memilih melalui pintu Istana Negara yang tembus ke Jalan Juanda. Belum ada pernyataan resmi atas pengalihan jalur tersebut. Hal tersebut dilakukan SBY karena harus bertolak ke Bali untuk menghadiri untuk menghadiri agenda Bali Democracy Forum. Namun aksi Presiden menghindari demonstran disesalkan para pendemo.
"Itu sangat kita sesalkan. Sebaiknya Presiden hadir dan temui kita di sini untuk ikut hari antikorupsi," kata Koordinator Humanika Jakarta, Sugeng Riadi di sela-sela aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka.
Dengan lewat pintu belakang, lanjut Sugeng, ia mempertanyakan komitmen Presiden untuk berantas korupsi."Kita pertanyakan komitmennya," tegasnya.
Sementara pengamat politik LIPI Siti Zuhro, menilai rasa gundah dan kepanikan SBY muncul karena dirinya mengamini tafsir pemakzulan yang seakan-akan bisa sangat cepat terjadi. Apalagi, mulai muncul tuntutan untuk menonaktifkan Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
"Jika pengusutan panitia hak angket Century itu berakhir tuntas, bisa jadi agenda para inisiator angket Century tidak hanya akan berhenti pada kejelasan aliran dana, tetapi juga kesalahan kebijakan yang dibuat Boediono (Gubernur BI, red) dan Menkeu," jelasnya.
Apalagi, lanjutnya, jika para oposisi di parlemen terkonsolidasi secara kuat, impeachement (pemakzulan) terhadap wakil presiden dapat saja terjadi. Apabila kondisi itu terjadi, Indonesia yang pertama mengalami hal yang baru sama sekali.
"Sejarah impeachment atas Presiden Abdurrahman Wahid mungkin saja dapat terulang. Bedanya, hal itu tidak terjadi pada diri presiden, tetapi wakil presiden," jelasnya.
Masalahnya, jika yang dimakzulkan adalah wakil presiden, bagaimana mekanisme dan tata cara penggantiannya? Jika pencalonannya satu paket, apakah berarti paket tersebut secara otomatis dimakzulkan? Sayang, persoalan tersebut tidak diatur oleh UUD Negara RI Tahun 1945.
"Wajar saja kalau SBY cemas, karena ini akan menjadi sejarah buruk dalam tata pemerintahan Indonesia. Namun, akan lebih elegan jika presiden bisa menyikapinya dengan tenang dan sesuai porsinya," jelasnya.
TRI
Ketika BBM Naik, Panik Muncul di Belakang Istana
benarkan istana panik?
yaaa teranglah panik...
dari sisi kepartaian, demoncrot sudah moncrot2 menghadapi tekanan dan koruptor di tubuh mereka..
dari sisi kenegaraan, tiada keberhasilan yang bisa bisa diangkat
dari sisi kemasyarakatan, java jazz gagal menjadi "pelangi dimatamu"
mau lari kemana?
menggunakan teroris sebagai pengalih?
aah sudah basi..
walaupun para teroris dijatuhi hukuman, media tidak berpaling dari istana
menggunakan apa lagi yaa?
bom?
aaahhh sudah pernah tuh..
menggunakan apa lagi yaa?
sasaran tembak?
yaaaa juga udah pernah....
plak plak plak...
kudeta !!!!!!
ini tema yang baru dan benar2 kena...
sekarang dicarilah siapa yang cocok dijadikan target..
eh ada wiranto...
mantap dah...
(*kenapa gak prabowo yaa?
mari kita gunakan panic button !
maspras 06 Mar, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar