Sumber : Property Investment, Indonesia Property Listing Market News, Homes Sale Indonesia | Rumah.com
RumahCom – Beberapa regulasi yang dikeluarkan pemerintah terkait perumahan rakyat belakangan ini, membuat gusar pihak-pihak yang dirugikan. Penghentian sementara program FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) sejak awal Januari lalu misalnya, membuat pengembang perumahan bersubsidi menjerit, karena tidak dapat melakukan akad kredit, sementara tunggakan bunga bank terus menumpuk.
"Pemerintah setengah hati membantu rakyat," tegas Eddy Ganefo, Ketua Umum DPP Apersi (Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia). Terkait program FLPP, kata Eddy, pemerintah ingin menurunkan suku bunga, tetapi porsi pemerintah yang semula 60% diturunkan jadi 50%. "Mestinya, dijadikan 100 persen, baru itu namanya pro poor," tukasnya.
Dengan subsidi 100%, lanjut Eddy, maka suku bunga bank bisa turun jadi 5%, karena bank tidak perlu menghitung cost of fund, alias cost of fund nol. "Jika demikian, yang perlu dipertimbangkan hanya marjin keuntungan dan biaya overhead bank," katanya.
Terkait pasal 22 ayat 3 Undang-undang No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) yang menyatakan luas lantai rumah paling sedikit 36 m2, Eddy juga mengatakan bahwa undang-undang tersebut tidak berpihak pada rakyat miskin.
"Pembatasan ini hanya berlaku bagi perumahan landed, tetapi tidak berlaku bagi rusun atau apartemen. Artinya, pemilik apartemen yang merupakan kalangan menengah ke atas, boleh tinggal di unit yang kurang dari 36 meter persegi. Di sinilah letak ketidakadilannya," jelas Eddy.
Eddy mengatakan, Apersi adalah salah satu pihak yang paling dirugikan karena kebijakan-kebijakan ini. Di sisi lain, katanya, asosiasi perumahan lain terlihat masih tenang-tenang saja, karena mereka tidak merasakan dampaknya. "Dari 1800 anggota kami, sebanyak 95 persen diantaranya adalah pengembang kecil yang membangun perumahan untuk MBR (masyarakat berpenghasilan rendah)," tuturnya.
"Belum lagi, setiap tahun sebanyak 200 pengembang baru bergabung dengan Apersi. Jadi jelas bahwa kami ini ikut menciptakan lapangan pekerjaan baru," tambah Eddy.
"Kami mengharapkan, Presiden dan Menko Perekonomian membuka mata dan telinga mereka terhadap masalah ini. Jangan sampai masyarakat marah," pungkasnya.
Anto Erawan
(antoerawan@rumah.com)
RumahCom – Beberapa regulasi yang dikeluarkan pemerintah terkait perumahan rakyat belakangan ini, membuat gusar pihak-pihak yang dirugikan. Penghentian sementara program FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) sejak awal Januari lalu misalnya, membuat pengembang perumahan bersubsidi menjerit, karena tidak dapat melakukan akad kredit, sementara tunggakan bunga bank terus menumpuk.
"Pemerintah setengah hati membantu rakyat," tegas Eddy Ganefo, Ketua Umum DPP Apersi (Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia). Terkait program FLPP, kata Eddy, pemerintah ingin menurunkan suku bunga, tetapi porsi pemerintah yang semula 60% diturunkan jadi 50%. "Mestinya, dijadikan 100 persen, baru itu namanya pro poor," tukasnya.
Dengan subsidi 100%, lanjut Eddy, maka suku bunga bank bisa turun jadi 5%, karena bank tidak perlu menghitung cost of fund, alias cost of fund nol. "Jika demikian, yang perlu dipertimbangkan hanya marjin keuntungan dan biaya overhead bank," katanya.
Terkait pasal 22 ayat 3 Undang-undang No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) yang menyatakan luas lantai rumah paling sedikit 36 m2, Eddy juga mengatakan bahwa undang-undang tersebut tidak berpihak pada rakyat miskin.
"Pembatasan ini hanya berlaku bagi perumahan landed, tetapi tidak berlaku bagi rusun atau apartemen. Artinya, pemilik apartemen yang merupakan kalangan menengah ke atas, boleh tinggal di unit yang kurang dari 36 meter persegi. Di sinilah letak ketidakadilannya," jelas Eddy.
Eddy mengatakan, Apersi adalah salah satu pihak yang paling dirugikan karena kebijakan-kebijakan ini. Di sisi lain, katanya, asosiasi perumahan lain terlihat masih tenang-tenang saja, karena mereka tidak merasakan dampaknya. "Dari 1800 anggota kami, sebanyak 95 persen diantaranya adalah pengembang kecil yang membangun perumahan untuk MBR (masyarakat berpenghasilan rendah)," tuturnya.
"Belum lagi, setiap tahun sebanyak 200 pengembang baru bergabung dengan Apersi. Jadi jelas bahwa kami ini ikut menciptakan lapangan pekerjaan baru," tambah Eddy.
"Kami mengharapkan, Presiden dan Menko Perekonomian membuka mata dan telinga mereka terhadap masalah ini. Jangan sampai masyarakat marah," pungkasnya.
Anto Erawan
(antoerawan@rumah.com)
GuruRumah 16 Feb, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar